Oleh : Glory Islamic

Seorang sahabat bertanya tentang bagaimana cara mencapai level hidup yang enak. Sebuah pertanyaan yang mungkin bagi sebagian besar orang adalah pertanyaan normal. Namun menjadi tidak biasa ketika pertanyaan ini mengemuka dari sahabat saya yang notabene seorang pengusaha yang lumayan sukses dengan aset milyaran dan omset puluhan juta rupiah per hari. Bukankah itu standar hidup sukses dan enaknya hidup. Maka tentu ada yang salah, ketika kemudian pertanyaan itu muncul.

Saya lalu mengajak dia untuk bercengkerama lebih santai. Topiknya tetap sama, level hidup enak. Sebelum menjawab pertanyaan saya membawa dia ke dalam diskusi dengan sahabat yang lain tentang makna hidup enak. Karena beda orang sangat mungkin beda makna dan standarnya. Benar dugaan saya, begitu bertemu beberapa sahabat yang lain, beragam definisi dan kriteria muncul silih berganti mewarnai obrolan santai kami yang seru. Uniknya ada beberpa hal yang hampir semua sepakat.

Entah dengan sampean para pembaca, gelombang diskusi kami bermuara pada anggukan yang sama tentang satu hal, yakni tentang kebutuhan dasar manusia. Ternyata sandang, pangan dan papan timbul sebagai jawaban serempak. Tiga hal penting yang jika semua terpenuhi maka seharusnya kita tidak memerlukan apa-apa lagi. Kebutuhan seperti pendidikan dan kesehatan juga sempat diutarakan untuk menambahi, namun kadarnya masih di bawah tiga hal tadi.

Jungkir balik tiap hari kita bekerja di kantor, sawah, proyek dan jalanan cari makan buat keluarga. Jasad ini perlu nutrisi penyambung hidup. Namun makanan seperti apa? Ya, makanan yang sehat dan menyehatkan. Masih banyak mbah-mbah yang berumur di atas 80 tahun sampai hari ini hidup cukup dengan makan singkong. Kondisi fisiknya sehal wal afiat. Karena mereka paham betul esensi makanan adalah nutrisi, bukan tentang gengsi. Singkong, tempe, sagu dikonsumsi tanpa ragu.

Papan atau rumah tempat tinggal merupakan kebutuhan berikutnya. Itu fungsi utama rumah pada awalnya. Atap dari alang-alang sudah cukup kala hujan datang. Dinding dari bambu sudah cukup menjadi penyejuk ketika panas dan menghangatkan saaat dingin menusuk. Manusia sudah sangat nyaman dengan semua itu. Sumber daya alampun tidak banyak dikeruk dan diekploitasi. Itu ketika pikiran manusia belum dikotori oleh fungsi-fungsi lain buah dari pengaruh setan.

Fungsi rumah bergeser saat manusia sudah bicara gengsi dan kebanggaan. Rumah tidak lagi menjadi sekedar tempat berteduh dari hujan dan bernaung dari panas. Rumah kini sudah berubah fungsi sebagai arena unjuk pencitraan, ajang pamer dan perlombaan mengikuti trend. Akibatnya semua berlomba membangun rumah idaman seperti milik kawan atau iklan. Setiap keluarga ngos-ngosan bekerja lupa ibadah, lupa saudara dan lupa Allah hanya demi ekspresi diri dan gengsi.

Rentannya kondisi fisik manusia juga memerlukan pelindung lain berupa pakaian. Seharusnya pakaian dikenakan manusia untuk memenuhi fungsi pelindung dari terpaan dingin, gigitan serangga dan terik matahari. Ada pergeseran positif lain berupa kebutuhan menutupi aurat dan rasa malu. Untuk fungsi-fungsi tersebut mestinya kita tidak memerlukan kain mahal, baju bermerk dan jumlah kostum yang banyak. Asal tidak kedinginan, asal bertutup aurat-an, cukup sudah.

Dulur, jika tiga kebutuhan tadi plus kebutuhan pendidikan dan kesehatan sudah terpenuhi, apa lagi yang kita cari. Saat anak istri sudah cukup makan dengan tahu dan tempe kenapa harus sok-sokan sarapan roti mahal ala bule. Kala rumah dari kayu atau bambu sudah melindungi dari panas dan hujan kenapa ngoyo membangun rumah dari beton dan semen. Ketika baju lima puluh ribuan sudah bisa melindungi dan menutup aurat kenapa harus ikut trend artis dan bujukan iklan.

Bila kecerdasan dan prestasi anak tidak selalu berhubungan dengan mahal dan elitnya sekolah, kenapa harus mati-matian nyogok dan bayar mahal untuk pendidikan anak. Jika jamu dari perasan tanaman obat di kebun rumah bisa menyembuhkan dan obat-obat generik bisa dibeli dengan harga terjangkau, kenapa kita begitu menuhankan pengobatan modern dan bangga jika masuk ke rumah sakit yang mahal. Ah, ternyata enak dan tidaknya hidupnya itu kita ikut andil menentukan. Ya, tapi bagaimana?

Pertama, tentukan dan miliki standar hidup sendiri. Jika kesulitan menentukan, ikuti saja standarnya Tuhan seperti yang dicontohkan para Nabi dan Rasul. Hindari bujukan iklan. Hiduplah sesuai dengan kebutuhan yang hakiki, bukan kebutuhan tambahan yang dijejalkan para produsen barang apalagi kebutuhan yang lahir dari pemenuhan gengsi. Makan asal menyehatkan, rumah asal tidak kehujanan kepanasan, baju asal rapi dan sesuai aturan Tuhan.

Kedua, tanamkan visi dunia akhirat sebagai kesatuan paket hidup. Ketika hati kepincut dengan kemewahan milik kawan dan tetangga, alihkan pandangan pada janji Tuhan akan kemegahan dan gemerlap surga. Kala hidup dilanda cobaan kekurangan dan kesempitan, lipur lara kalbu dengan membisiki hati bahwa semua itu belum ada apa-apanya dibanding kepedihan dan kemelaratan neraka. Dengan visi akhirat, sesedikit apapun hasil usaha kita, akan selalu ada porsi yang dialokasikan untuk dikirimkan ke akhirat. Visi akhirat menghindarkan kita dari mengeluh dan meminta-meminta.

Ketiga, ajaklah keluarga sampean memiliki visi hidup yang sama. Akan berat langkah kita menuju hidup enak, bila sebagian keluarga tidak satu visi tentang standar dan tujuan hidup. Standar kita cukup rumah bambu, anak dan pasangan kita pingin rumah berlantai granit dan beludru. Sebaliknya, bila keluarga sudah satu frame, di saat ada kelebihan rizki dan kita mengutarakan niat ingin bersedekah, maka jawaban anak dan pasangan kitapun seragam. Satu langkah, satu visi dan satu standar.

Keempat, berkumpul dan berteman dekatlah dengan orang-orang yang se visi dan mendukung ideologi hidup dan standar hidup yang digariskan Tuhan. Sampean boleh saja tinggal dan bergaul dengan siapapun. Tapi untuk urusan curhat, teman dekat dan berkumpul, pilah dan pilihlah hamba-hamba Allah yang ber visi akhirat, yang setuju dan menjalani hidup seperti hidup Rasul dan para sahabat. Insya Allah, itulah enaknya hidup dan semoga kita termasuk yang dipanggil Allah nanti dengan panggilan: Wahai jiwa-jiwa yang tenang, kemarilah menuju ridlo dan surga-Ku. Bismillah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *