Oleh : Glory Islamic

Sekitar tahun 1968 ibu saya berjalan kaki sambil menggendong kakak yang masih berumur 8 bulan. Sambil berpayung beliau menyusuri jalan desa sepanjang 8 kilometer pulang dari rumah nenek. Tiba-tiba sebuah batu dilemparkan menembus payung mengenai kepala ibu saya. Darah mengalir, sambil melindungi kakak saya, beliau berusaha mencari pertolongan. Jaman itu, selain cibiran dan hinaan kata, perlakuan semacam itu kerap diterima pemakai jilbab yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari .

Belasan tahun kemudian, mbak atau kakak perempuan saya juga mengenakan jilbab di sekolah, termasuk saat pelajaran olahraga, meski dilarang guru olahraganya. Mbak tetap teguh mengenakannya. Hinaan, sindiran dan cibiran menjadi menu harian. Puncaknya ketika menjelang ujian nasional disyaratkan berfoto untuk ijazah dan harus lepas jilbab. Dia menolak melepas jilbabnya. “Sebentar saja! Kayak kamu saja yang Islam, itu anak-anak yang lain juga bersedia lepas kok”, hardik gurunya.

Dia bergeming dan memilih untuk sabar ngajangi sumpah serapah gurunya daripada menyalahi perintah Tuhannya. Ini bukan masalah sebentar atau lama, ini adalah tentang konsistensi mengikuti aturan agama, pikirnya. Lagipula kalau resikonya terbakar api neraka, semenitpun takkan terperi penderitaannya. Apalagi foto itu akan terpampang di sana selamanya. Konsistensi yang kemudian berakibat fatal, mbakyu saya tidak memperoleh ijazah meski mengikuti ujian dengan nilai baik.

Fakta yang membuat miris, sekolah di mana mbakyu saya tidak lulus karena mentaati perintah Quran, adalah sebuah sekolah muslim milik salah satu organisasi Islam terbesar di negeri ini. Meskipun memang pada tahun-tahun tersebut aturan resmi melarang foto berjilbab untuk berbagai urusan dokumen, ijazah, ktp bahkan paspor haji. Namun tetap saja itu menjadi sebuah ironi, sebuah paradoks. Syukurlah beberapa tahun kemudian terbit peraturan yang membolehkan foto berjilbab.

Lambat laun jilbab banyak dikenakan kaum perempuan. Kendala-kendala psikologis perlahan mulai berkurang seiring banyaknya pribadi-pribadi yang mengenakan jilbab. Orang tidak lagi malu berjilbab di tempat-tempat umum, karena tidak asing lagi. Fenomena yang melegakan. Terlebih setelah banyak pesohor yang juga tampak mengulurkan kain jilbab menutup kepalanya. Jilbab kemudian berkembang menjadi mode, fashion bahkan berubah menjadi industri.

Lenggak lenggok peragawati berjalan kemayu di atas cat walk. Perempuan yang dalam keseharian biasa memakai tanktop dan celana pendek itu, kali ini tampil dengan busana muslimah tertutup rapat. Profesionalisme pekerjaan sebagai peragawati menuntut dia untuk bersedia tampil dan berpura-pura nyaman dengan pakaian apapun yang dirancang para desainer. Kalaupun ada ironi di balik gemerlap peragaan busana, itu urusan lain. Dunia nyata dan dunia panggung memang tidak selalu sama.

Anak-anak mudapun tampil modis dengan jilbabnya. Celana dan kaus ketat membalut tubuh menampakkan lekuk tubuh, dihiasi kain menutupi kepala dengan ujung dililitkan ke leher. Ibu-ibu meletakkan kain mirip selendang di atas sebagian kepala, dengan rambut dan sanggul yang masih tampak jelas menyembul. Tutup aurat tafsir masa kini. Tapi, benarkah demikian maksud al qur’an?

“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya….”, qs. 24:31

Dulur, hikmah berpakaian menurut aturan Tuhan bukanlah sekedar menutupi tubuh, tapi menutupi aurat. Tubuh boleh jadi hanya terdiri dari rambut, telinga leher, dada dan seterusnya. Tapi aurat mengusung pengertian yang lebih, yaitu kehormatan dan syariat. Menutupi perhiasan atau aurat berarti menjaga kehormatan dan syariat. Itulah kenapa perintah memakai kerudung, diawali dengan perintah menjaga pandangan, memelihara kemaluan dan larangan menampakkan perhiasan.

Arti perhiasan tidak hanya yang berbentuk emas dan perak, tapi tubuh perempuan yang memang secara hormonal merupakan daya tarik bagi lawan jenis. Perempuan muslim diperintahkan menjaga kehormatan itu dengan cara menutupinya dengan kain yang longgar. Upaya preventif guna melindungi wanita dari kejahatan dan pelecehan seksual atau sekurangnya dari pandangan jahil lawan jenis. Itulah logika awal diwajibkannya tutup aurat bagi kaum perempuan muslim.

Jika sampean lihat barang atau jajan yang dijual murah di pasar, para pedagang biasanya menjajakannya di tempat terbuka. Siapapun bisa memandang, menyentuh bahkan kadang boleh mencicipinya. Kesan murahan juga tampak dari bungkus atau tempatnya. Lain halnya dengan barang mewah berkualitas tinggi. Covernya tertutup rapat lengkap dengan segel, disimpan aman dalam etalase yang indah. Tidak boleh menyentuh dan memakainya, kecuali bagi yang berhak atau yang memilikinya.

Pemicu utama tindak kejahatan biasanya karena ‘ada niat ada kesempatan’. Sebuah rumah yang berisi banyak barang berharga dibiarkan begitu saja terbuka. Seseorang yang awalnya tidak ada niat jahat, lewat dan melihatnya, sering kemudian tergoda untuk mencuri. Sebaliknya, seorang pencuri yang sudah lama mencari mangsa akan kesulitan melaksanakan rencana kriminalnya, ketika semua rumah tertutup rapat dan kuat. Sangat mungkin malah mengurungkannya. Apalagi bila dijaga aman oleh sekuriti.

Kenikmatan dunia nomor satu, itu persepsi sebagian besar pria tentang tubuh perempuan. Jangan biarkan terbuka sehingga memancing nafsu setan dan mata jelalatan. Syariat Islam berkeras menjaga tubuh juga pribadi perempuan dari eksploitasi syahwat dan komoditas budaya profan. Dengan segel aman elegan, busana longgar yang menutupi seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Tidak bisa dilihat, disentuh apalagi dinikmati kecuali oleh muhrim yang berhak, sesuai aturan Tuhan.

Dulurku, kerudung atau jilbab bukan sekedar kain membalut raga. Busana muslimah merupakan refleksi dari keanggunan budi pekerti dan libaasuttaqwa yang berharga. Pakaian longgar tertutup rapat sebagai proteksi dari dunia yang penuh jelaga, diperaman perlindungan sekuriti hati berupa iman penuh siaga. Layak ditiru ibu dan mbak saya yang berhasil menjiwai busana desain Tuhan dengan pengorbanan penuh tenaga. Semuanya demi meraih ridlo Allah, status mulia sebagai penghuni surga. Bismillah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *