Oleh : Glory Islamic

Suatu hari sahabat Abu Bakar dan Umar sedang berjalan ketika didapatinya seorang sahabat sedang menangis. Lalu ditanya, kenapa kamu menangis wahai fulan? Sahabat tersebut menjawab, aku terkena penyakit nifaq, ternyata aku seorang munafiq. Bertanya lagi Umar, kenapa begitu? Aku pernah mendengar Rasul bersabda barangsiapa yang lebih banyak mengingat hal duniawi daripada Allah dan RasulNya, berarti dia telah terjangkit sifat nifaq. Dan tadi pagi aku bercanda dengan anak istri sampai lupa Allah dan RasulNya, baru aku sadari kemudian bahwa aku sedang terlibat munafiq.

Mendengar itu tergetarlah hati dua sahabat besar itu. Air matapun perlahan mulai mengalir dari mata suci keduanya. Sambil menangis Abu Bakar dan Umar berkata, jika demikian berarti akupun sering terlibat munafiq, karena akupun sering bercanda dengan anak dan istri sampai lupa mengingat Allah. Astaghfirullahal ‘adhim. Begitulah tipe hati para sahabat, lembut dan mudah tersentuh peringatan haq. Mereka bisa saja berlagak suci dan lebih tahu dari si fulan tadi dengan menjelaskan tafsir yang sesuai kedudukannya. Tapi beliau lebih memilih keimanan daripada kebanggaan semu.

Dalam banyak ayat juga dikisahkan betapa para Nabi dan Rasul sering menangis, lahir dan batin. Nabi Adam yang sambil menutupi aurat dengan dedaunan surga, menangisi dosa dan kekhilafannya memakan buah khuldi. Rasul Yunus yang merintih bercucuran air mata bertaubat karena ketidaksabarannya. Rasul Musa yang mengakui dirinya dholim karena terbawa amarah dalam membela suku Bani Israilnya. Juga Rasul Muhammad yang kerap menangis di hadapan Allah.

Lalu bagaimana dengan kita ? Sesering apa kita menangisi dosa-dosa kita ? Seberapa banyak air mata ini mengalir untuk melumasi karat dosa dalam jiwa kita ? Pernahkah kita mensyukuri nikmat jantung yang sehat berdetak ini sampai berlinang air mata ? Sudahkah bergetar hati kita tiap kali mendengar firman Allah dibacakan, lalu berujung pada tangis kesadaran ? Seberapa lembut hati kita untuk menerima semua peringatan yang datang dengan ikhlas, sadar tanpa membantah dan menolaknya ?

Jika atas pertanyaan-pertanyaan tadi ternyata jawaban jujur hati kita adalah tidak sering, tidak bergetar atau bahkan tidak pernah menangis, maka kita patut prihatin. Disebutkan bahwa dahsyatnya firman Tuhan seandainya ditujukan kepada gunung, akan hancur leburlah karena takutnya pada Tuhan (59:21). Dan jika kita mendengar peringatan firman Tuhan lalu samasekali bergeming, tidak tertarik atau menaruh perhatian sedikitpun, berarti hati kita telah mengeras, lebih keras dari batu (2:74).

Kenapa tidak bisa menangis ? Karena hatinya keras. Kok bisa begitu? Ya, ketika hati seseorang keras, kecenderungannya setiap peringatan datang bukannya dilihat sebagai hal positif tapi dinilai sebagai serangan negatif. Dampaknya, apapun bentuk masukan terutama yang bersifat kritik selalu disanggah dan dibantah dengan logika pembenar atas prilaku salah. Bahkan jika peringatan itu sudah bersumberkan firman Tuhanpun akan dicari-carikan dalil pembanding yang sesuai pandangannya.

Hasilnya peringatan dan masukan pihak lain tidak pernah bisa menembus hatinya, tak mampu menyentuh hatinya. Bagaimanapun indahnya iming-iming surganya Allah dan betapapun mengerikan ancaman nerakaNya Allah tidak juga melunakkan hatinya. Jangankan menangis taubat, bergetarpun tidak. Semua firman Allah, sabda Nabi dan masukan sesama hanya seperti air di atas daun talas, masuk telinga kanan keluar kuping kiri, tak ada dampak pada prilakunya, lewat begitu saja tanpa ada bekas.

Lalu kenapa hatinya keras ? Jawabnya adalah karena banyak dosa. Hati dan jiwa ini ibarat mesin atau motherboard, sementara dosa itu ibarat karat atau virusnya. Bila mesin lama tak terpakai maka banyak karat yang membuat onderdilnya sulit digerakkan. Bila hati ini banyak karat dosa akan sulit sekali digerakkan untuk mengamalkan ajaran Allah. Bagai diperintah naik ke atas langit. Perintah sholat, bilangnya ga sempat. Anjuran sedekah, katanya masih susah, dan seterusnya.

Terkadang kita menganggap enteng dosa-dosa kecil, seperti meremehkan diri lain, tidak ingat Allah saat berdiri duduk dan berbaring, lupa bersyukur atas nikmat sehat dan aman. Padahal dosa kecil itu bila alpa ditaubati, makin lama menumpuk, menggumpal, menutupi, mengotori dan menjadikan hati makin berkarat mengeras. Dulur, dosa sekecil apapun jika menumpuk akan menjadi dosa besar. Ketika hati kita tidak bisa menangis, tengoklah bisa jadi karena hati kita keras oleh dosa kecil yang tidak kita ketahui.

Terus kenapa banyak dosa, apa penyebabnya ? Jawabnya karena tidak ingat mati. Manusia dan kehidupannya ini terus berjalan kencang, maka ingat pada mati itu layaknya rem atau rambu-rambu lalu lintas. Dengan mengingatkan diri pada kenyataan bahwa kematian bisa datang kapan saja, setidaknya manusia akan berpikir ulang untuk berbuat salah dan dosa. Dengan kesadaran bahwa ada ajal yang membatasi waktu di dunia, maka diharapkan manusia tidak menunda-nunda untuk berbuat baik.

Sayang, praktik sebaliknya yang banyak dijalankan manusia. Mereka jauh dari ingatan akan kematian. Fatamorgana dunia membuat sebagian besar kita berpikir dan bertindak seolah-olah waktu kita masih banyak, seperti maut belum akan menjemput. Kebaikan tidak kunjung ditunaikan sambil berpikir: ah, nanti saja kalau tiba waktunya, seolah kitalah sang pemilik waktu. Kesalahanpun tetap dijalani meski tahu itu dosa dengan asumsi: ah, besok saja kalau sudah tua taubat. Dosapun makin banyak.

Dan kenapa tidak ingat mati ? Jawabnya adalah karena hati ini terlalu cinta pada dunia. Logikanya, di saat sampean mencintai sesuatu sampean akan berusaha mati-matian mendapatkan itu. Kesibukan dan kerja keras kerapkali melupakan kita dari banyak hal. Jangankan mati yang datangnya tidak pasti, keluarga yang pasti ada saja sering terlupakan oleh kesibukan memburu harta. Maka jika cinta sampean pada dunia ini mendalam, pasti sampean ingin hidup selamanya; tidak ingat dan seolah tidak akan mati.

Dulurku, hati ini aslinya halus dan lembut. Harusnya mudah menerima masukan dan peringatan. Jangankan langsung dari firman Allah, peringatan dari sesama saja sudah cukup melunakkan hati ini. Itulah kenapa gunung yang keraspun tunduk. Jika kini firman Tuhan dan peringatan sesama lebih sering tidak membekas, berarti hati kita seperti daun talas atau batu, bahkan lebih keras.  Rasul, Nabi dan para sahabat hatinya selembut sutra, sering menangis mendengar firman Allahnya. Bagaimana dengan kita? Bismillah.

sdmpai-sampai enggan membantu sesama

I’maluu liddsunyaaka ka’annaka ta’sisyssuu abadan….

Orang beriman banyak menangis, bersujud

Hatinya lembut mudah tersentuh peringatan..mereka terima tnpa banyak membantah…

Dampak dari keras hati : suit menerima hsidayash, jauh dari kasih sayang, pemicu sombong

Mereka tidak bisa masuk surga kecuali ada unta masuk lubang jarum ayatnya…

Karena kalau`mash keras maka yang bisa melunakkan hanyalah api neraka…disanalah akan lunak hati yanga keras

Berulangkali diberikan contoh tp msh ingkar {al kahfi}

Saking kerasnya seandainya malaikat turun, orang mati hidup ttp tdk beriman..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *