CNN. Kecelakaan jet tempur F-16V tercanggih Taiwan pada Selasa pekan ini disebut disebabkan karena para pilot angkatan udara kelelahan menghadapi tekanan China yang berulang selama beberapa bulan terakhir.

Selain karena China, beberapa ahli juga menganggap faktor lain yang memicu kecelakaan adalah masalah dalam program pelatihan pilot.

Sebab, kecelakaan tersebut terjadi selama simulasi pelatihan pengeboman dari udara ke darat dengan kecepatan tinggi. Bagi pilot yang belum punya banyak pengalaman, latihan ini menjadi sesuatu yang menantang.

“Kecelakaan itu harus disalahkan karena kurangnya pilot untuk mengendarai jet tempur Taiwan, sementara Taiwan berencana terus menambah armada jet tempur canggih dari Amerika Serikat. Karena hal itu, banyak pilot muda yang harus melewati beberapa fase latihan agar mempercepat masa pelatihan,” kata eks Instruktur Akademi Angkatan Laut Taiwan, Lu Li-Shih.

“Jet tempur Taiwan perlu menyesuaikan program dan standar pelatihannya untuk mengimbangi China,” lanjut dia.

Lu mengatakan pilot angkatan Taiwan tak akan melakukan pelatihan semacam itu, kecuali jika mereka memiliki jam terbang lebih dari 100 jam.

Hingga kini, pilot jet tempur F-16V, Chen, masih belum ditemukan usai insiden kecelakaan. Ia diketahui memiliki jam terbang hingga 300 jam.

Menurutnya, pilot cadet menerbangkan pesawat generasi yang lebih tua seperti F-5Es, dan pilot muda perlu lebih banyak pelatihan untuk betransisi.

Selain memperkuat alat utama sistem persenjataan dengan F-16A/B, angkatan udara Taiwan juga telah memesan 66 F-16V baru senilai US$8 miliar atau Rp114 triliun.

Pemimpin Redaksi Kanwa Defence Review yang berbasis di Kanada, Andrei Chang, mengatakan model terbaru dari jet tempur F-16 jenis V itu dilengkapi dengan senjata baru dan sistem kontrol penerbangan. Namun, program dan standar pelatihan pilot Taiwan kemungkinan tidak sesuai prosedur.

“Perkembangan (jet tempur) ke F-16V sangat canggih, artinya pesawat tak cocok untuk melakukan pelatihan dasar seperti latihan simulasi udara-ke-darat,” kata Chang seperti dikutip South China Morning Post (SCMP), Rabu (12/1).

Ia juga mengatakan pasukan China, Tentara Pembebasan Rakyat, disarankan menggunakan teknologi virtual reality untuk melatih pilot muda.

Peneliti kekuatan udara dari program studi militer di Rajaratnam School of International Studies Singapura, Ben Ho, mengatakan avionik dan sensor F-16V masih baru, tapi badan pesawat alutsista Taiwan berasal dari era lama, 1990-an.

“Pesawat yang menua lebih membutuhkan perawatan khusus agar layak terbang,” ucap Ho.

Ho mengatakan, intensitas peningkatan pengerahan penerbangan di sekitar wilayah Taiwan dulu akan membuat lelah kru jet tempur pulau itu. Hal ini berimbas pada penurunan tingkat pemeliharaan pesawat.

“Kecelakaan hari itu merupakan insiden yang keenam dalam dua tahun terakhir, dan bisa mencerminkan isu sistemik angkutan udara Taiwan,” lanjut dia.

Insiden kecelakaan terakhir dan landasan selanjutnya dari pasukan Taiwan termasuk menerbangkan F-16, akan membuat PLA meningkatkan serangan.

“(PLA) akan meningkatkan penerbangan pengepungan untuk memberi lebih banyak tekanan militer Taiwan,” kata Ho.

Sepanjang 2021, lebih dari 950 jet tempur melintas di Selat Taiwan, Angka ini melonjak nyaris tiga kali lipat dari 2020, yang tercatat 380.

“(PLA) melakukan 950 serangan mendadak, beberapa muncul di tengah malam, yang artinya jet tempur Taiwan perlu mengirim lebih banyak pasukan untuk menangani mereka,” ujar Ho.

Pengamat militer yang berbasis di Makau, Anthony Wong, mengatakan kecelakaan itu menunjukkan gesekan antara Beijing yang ingin menguras pertahanan Taiwan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *