Oleh ; Glory Islamic

Entah kenapa, semakin sering saya ke Jakarta semakin tidak ingin saya tinggal di sana. Kota yang konon banyak didamba dan menjadi gula bagi semut pencari nafkah itu justru sangat tidak menarik bagi saya. Bagi pendamba ketenangan dan kesahajaan seperti saya, ibukota negara tersebut mungkin terlalu bising dengan segala ke-glamor-annya. Tapi di luar semua itu, mungkin apa yang saya lihat dari kemacetan, suara klakson dari orang yang terburu-buru, wajah yang tegang serius dan penat, yang membuat saya menyimpulkan, Jakarta terlalu sibuk untuk saya.

Kondisi semacam itu tentu bukan hanya monopoli kota megapolitan seperti Jakarta. Situasi nyaris serupa juga sudah mulai menjadi ciri khas kota-kota metropolitan lain di Indonesia. Wajah-wajah yang tegang dan serius, bos dan pekerja yang semua tampak diburu tenggat waktu, pengguna jalan yang tidak sabaran dan emosian, detak kehidupan kota yang berdenyut nyaris 24 jam. Waktu sehari seolah tak cukup untuk memenuhi dahaga pada ambisi dan rupiah. Luar biasa sibuk.

Berangkat jam enam bahkan lima agi untuk menghindari kemacetan. Jangankan mengantar anak sekolah, sarapan saja kadang dilakukan sambil berjalan. Lupakan sholat dluha karena sholat subuh saja kadang tak terjangkau. Pulang jam lima dan karena kemacetan sampai di rumah pukul delapan atau bahkan sembilan. Belum lagi kalau lembur, bisa jadi pukul duabelas baru kelar. Tak usah bicara tahajud, bahkan sholat isya pun sudah tak mampu kalah oleh rasa penat.

Hubungan antar anggota keluargapun jadi sangat jarang. Interaksi yang terbangun hanya bila ada hal urgent seperti sakit atau acara seremonial. Suami istri kehilangan chemistry dan hubungan anak dan orangtua menjadi sekedar ikatan biologis yang hambar dari kasih sayang dan ikatan batin. Mungkin tidak semua keluarga di kota besar seperti itu. Namun potret kehidupan seperti itu sudah semakin jamak kita saksikan. Tidak lagi di kota besar, bahkan di desapun sekarang terjangkit penyakit serupa.

Filosofi waktu adalah uang benar-benar sudah diartikan apa adanya, bukan maknanya. Harusnya time is money diartikan bahwa wkatu itu sangat berharga, maka pergunakanlah semaksimal mungkin. Tapi karena manusia saat ini sudah menganggap uang adalah segalanya maka time is money bermakna waktu harus dipergunakan semaksimal mungkin untuk mencari uang, uang dan uang. Jikapun ada waktu senggang, larinya ke rekreasi dan kehidupan hedonis.

Bagi yang miskin berpikir ‘besok aku makan apa’ dan bagi yang kaya, berkuasa dan rakus berpikir ‘ besok aku mana siapa’. Rencana dan keinginan yang berputar dalam otak adalah bagaimana daganganku lebih laku, bagaimana rumahku lebih baik, bagaimana jabatanku lebih tinggi, bagaimana figurku lebih terkenal, bagaimana uangku lebih banyak. Segenap waktu, di tiap kesempatan yang dipikir dan dibicarakan adalah hal-hal tersebut, tak peduli meski konsekwensinya hubungan dengan Tuhan jauh.

Itulah proses dan hasilnya jika kehidupan yang dijalani dengan sangat sibuk hanya untuk tujuan materi dan kehidupan duniawi. Jangankan Allah dan akhirat yang tidak kelihatan, teman dan keluarga yang saban hari berkumpul saja sering dilupakan. Nilai-nilai spriritualitas bukanlah kebutuhan utama. Alih-alih sibuk karena memenuhi ambisi ridlo Allah dan bekal akhirat, kalaupun ada kegiatan seremonial agama, hanyalah sebagai wisata rohani yang dilakukan sesekali saja.

Padahal di sisi lain ada juga hamba Allah yang memiliki kesibukan luar biasa di sisi yang berbeda. Hamba Allah yang melihat kehidupan dengan cara yang lebih luas. Bahwa tujuan utama hidup adalah mencari ridlo dan ampunan Allah. Bahwa kehidupan dunia ini hanyalah tempat singgah untuk kemudian melanjutkan sesi berikutnya yakni akhirat sebagai final destination. Di akhiratlah kebahagiaan akan ditentukan oleh seberapa banyak ampunan dan ridlo Allah yang diperoleh selama hidup di dunia.

Maka dia menjalani hidup di dunia disibukkan oleh aktifitas perburuan pada dua hal tersebut. Dalam benaknya yang selalu berputar-putar adalah ‘besok ibadah apalagi yang harus kuperbaiki’. Rencana dan keinginan yang mengisi kalbunya adalah ‘bagaimana dosaku hari ini sudah aku taubati belum ya, apakah sholatku sudah diterima oleh-Nya’. Ketakutannya bukan ‘bagaimana kalau besok aku tidak makan’, tapi ‘bagaimana kalau besok aku mati dan dosaku belum diampuni’.

Dia tetap menjalani hidup dan mencari nafkah seperti biasa. Juga berkeluarga dan bermasyarakat layaknya manusia normal. Namun interaksinya dengan sesama manusia jauh lebih bermakna, karena tidak dikotori oleh nafsu dan ambisi dunia. Dalam bisnis dia tidak ingin ‘makan siapa-siapa’ karena semua dijalani hanya sekedar untuk hidup. Baginya makan untuk hidup bukan hidup untuk makan. Mencari uang dan makan hanyalah pelengkap dan nomor kesekian sebagai pendukung aktifitas dan kesibukan utama mencari ridlo dan ampunan Allah.

Kedekatan pada Allah melahirkan kedekatan sejati dengan keluarga. Karena ikatan yang dibangun lebih suci. Dia tak pernah terburu-buru ketika bercengkerama dengan Allah dan sangat tepat waktu. Bila perlu lembur untuk urusan proposal permohonan ampunan melalui tahajud demi mendapatkan ampunan Allah. Dia selalu menyempatkan lobby ridlo-Nya melalui dluha agar lancar urusannya.

Bahkan hasil usahanya selalu dia sedekah-kembalikan pada sang Pemilik Rizki melalui sesamanya, sebagai bentuk pertanggungjawabannya. Rapat dan diskusi lima kali sehari adalah aktifitas rutinnya. Jangan pernah mencoba mengganggu keseriusan dan konsistensinya. Dia luar adalah pribadi yang luar biasa sibuk dengan Tuhannya. Dulurku, ada dua jenis kesibukan, yang manakah sampean? Bismillah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *