Oleh: Arbitrator Muchtar

Wujud iman kepada Allah dan bukti tidak atheis adalah melalui percaya sekaligus mengamalkan titah dalam kitabNya.

Dari kedua ibuku saya belajar memahami porsi emansipasi, sesuai kadar takar yang tidak menyalahi kodrat syariat.

Allah tidak akan pernah salah dalam pembagian hak, tugas dan kewajiban antara laki dan perempuan.

Ibumu… Ibumu… Ibumu… Bapakmu…

Seorang wanita memiliki arah karir yang jelas dan pasti, menjadi ibu. Sehebat apapun seorang bapak tidak akan bisa melahirkan seorang anak.

Sebuah karir mulia berderajat hebat dunia akhirat. Bagaimana tidak, seorang ibu lah yang dipercayai Allah sebagai “wakilNya” dalam penyaluran sifat kasih sayangNya, setelah Rasul dan Nabi.

Atas tugas tersebut Allah memuliakan jiwa seorang ibu dengan derajat tiga tingkat diatas seorang bapak. Atas anugrah itulah, “Surga dibawah telapak kaki ibu”.

Sebuah amanah yang tentu ada ada konsekuensi, dan itu logis. Semakin tinggi pangkat semakin bertingkat tugas dan tanggung jawabnya. Semakin seseorang itu berderajat, terhormat pasti semakin berharga jiwa raganya, maka mutlak harus dijaga.

Selain memiliki ajudan dan paspampre yang ditugasi menjaga keamanan sekaligus keselamatan seorang presiden. Menjadi presiden juga kudu mengikuti banyak aturan baik tertulis atau tidak.

Dan seorang ibu, dihadapan Allah, derajat dan kemuliaannya melebihi segalanya, presiden sekalipun. Dari seorang ibu presiden dilahirkan, dari Allah jiwa cinta kasih sayang ibu dihadirkan.

Jadi wajar dan harus dijaga, dengan ribuan aturan dan kewajiban. Wanita kudu sadar akan kemuliaan tersebut.

Tidak semua rakyat bisa menjadi dan mendapat fasilitas presiden, tidak semua wanita bisa menjadi seorang ibu.

Bentuk prioritas Tuhan kepada ibu diawali bahkan sebelum tugas keibuan dimulai, yakin ketika wanita mulai remaja/baligh.

Perempuan dilarang pergi sendiri tanpa muhrim. Jika sendiri di rumah, perempuan tidak boleh menerima tamu non muhrim, menjawab salam pun dari balik pintu.

Dibedakan cara beribadah dan bersosial, bukan soal diskriminasi, justru wujud dari jiwa kasih Ilahi.

Karena ibu yang mengandung, melahirkan membibit calon kholifah bumi, hamba wakil Tuhan, maka mental, sikap, sifat dan kehormatan wajib dijaga, diatur melalui juknis yang jelas.

Semua anggota tubuh adalah permata yang kudu ditutupi kecuali muka dan telapak, begitu mahalnya jiwa raga seorang ibu, suaranya masuk bagian dari aurat. Mahal harganya, tidak semua bisa tau dan mendengarnya.

Kudu disadari untuk calon ibu, sampean di pingit dari “sampah” seluk dunia. Karena sampean lebih mulia dari jabatan apapun di dunia.

Apalagi hanya karena like dan pujian palsu sampean kena tipu. Iming milyaran jutaan sampean menanggalkan baju keimanan meniadakan Tuhan.

Aku, lelaki belajar hidup benar bertuhan dari ibuku. Aku lelaki belajar “wa nahan-nafsa ‘anil_hawa” agar berderajat mulia dunia sampai akhirat.

Dari kedua ibuku, aku sadar besarnya kasih sayang Allah kepada ku, sekaligus belajar bagaimana cara balas budi kepada-Nya.

Dari keduanya aku belajar berbuat baik kepada sesama tanpa bosan tanpa henti.

Dari keduanya aku belajar untuk selalu dakwah, mengajak kebaikan dimulai kepada diri dan keluarga, sekalipun kadang di cap “cerewet” bahkan oleh anaknya sendiri.

Dari keduanya aku belajar anti merasa sudah untuk menyalurkan jiwa kasih kepada sesama manusia seperti halnya Allah kepada HambaNya.

Dari keduanya aku belajar sabar praktik dunia penjara/neraka bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir. Menjalani “diet ketat” bab syariat.

Ikhlas dan sabar menjadi “raja” dalam rumah tangga yang bagi sebagian perempuan di rasa kuno jadul.

Dari tangan seorang ibu ada masakan yang berbarokah dan penuh cinta kasih, yang tidak kita dapatkan di resto termahal sekalipun.

Dari keduanya saya belajar mencari berita langit, melalui media Qur’an yang selalu update dengan sinyal tahajjud, dhuha, dan sedekah.

Media sosial update dari manusia, Qur’an selalu update dari Allah.

Dari keduanya saya sadar menjalani aturan dan ketetapan Allah itu mulia terhormat dunia akhirat. Darimu aku belajar ikhlas tidak pernah protes kepada Allah akan takdir menjadi siapa.

Dari tangan suci beliau, membersihkan kotoran agar terjaga sehat dan bersihnya anak.

Dari bibir sang ibu do’a dan harapan untuk putra putrinya mampu membuka pintu ijabah.

Dari kedua ibuku aku belajar malu, bagaimana tidak, beliau dengan usia delapan dua dan lima enan masih ambisi meraih derajat tinggi didepan Ilahi, sampai detik ini.

Sedang saya merasa sudah dengan hanya pernah sesekali saja.

Beliau berdua terus berkhidmat untuk umat dan berjuang agama. Bagaimana saya merasa sudah, sedangkan beliau, tidak ada kamus purna, dengan usia tiga kali lipat dari saya.

Dari keduanya saya belajar sadar hidup sederhana di dunia, asal mulia dan kaya di akhirat.

Matur suwun ibu, andai dalam setahun aku bisa mengucap selamat hari ibu sebanyak 365 kali, masih kurang, belum sepadan. Karena bukan setiap hari tapi setiap sholat bahkan setiap detik menit engkau selalu mengingatku dan mendo’akan keselamatanku dunia dan akhirat.

Bismillahirrahmanirrahim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *