VOA — Sampah plastik yang menumpuk dan polusi yang dihasilkan di Indonesia dan negara-negara lainnya yang diceritakan dalam film dokumenter “The Story of Plastic,” tidak hanya berasal dari sampah warga setempat, namun juga kiriman dari negara-negara besar seperti Amerika Serikat atau negara-negara di Eropa.

“Saya rasa kita menyalahkan negara-negara ini (yang telah) menghasilkan sampah. Namun kenyataannya, ini adalah kiriman sampah dari negara-negara privilege (yang memiliki hak keistimewaan). Jadi ini adalah masalah keadilan. Anda tidak bisa menyalahkan negara-negara penerima atas sampah-sampah yang tidak bisa mengelolanya,” kata Stiv Wilson.

Selama puluhan tahun sampah-sampah plastik ini dikirim ke berbagai negara, termasuk Malaysia, Filipina, dan Indonesia, dan telah membuka lapangan pekerjaan bagi warga yang diharapkan bisa membantu proses pemilahannya. Namun menurut Prigi, pada kenyataannya, lemahnya kebijakan di negara penerima membuat sampah kiriman tersebut menjadi masalah besar.

“Jadi ini kan bentuk penjajahan baru kan. Jadi kita ini kayak apa ya, negara level ke-3 gitu ya. Level pertama kan mungkin Amerika, UK, Jerman, tapi mereka juga ternyata membuang sampahnya ke kita, jadi sebenarnya yang menjadi problem kan sampah plastik. Jadi ternyata negara maju itu tidak mau mengolah sampah. Tidak mau mendaur ulang sampah mereka. Sampah mereka kan dibuang ke tempat kita. Ke Indonesia, ke Malaysia, ke Filipina, Tunisia, negara-negara Afrika,” jelas Prigi.

Prigi menambahkan, memang kemudian kiriman sampah plastik yang bercampur dengan sampah domestik, medis, popok dan sebagainya ini bisa “menopang ribuan orang” dengan membuka lapangan pekerjaan bagi para pemilah sampah di Indonesia. Namun, yang terlupakan adalah “efek buruknya” terhadap lingkungan.

“Sampah-sampah itu menumpuk, menggunung. Itu dibiarkan,” kata Prigi.

“Baru setelah kita ramai-ramaikan, mereka kemudian melarang (masuknya sampah impor),” tambahnya.

Namun, dengan adanya pelarangan pengiriman sampah, kini banyak orang yang kehilangan pekerjaan.

“Karena ada ribuan masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari istilahnya tuh petani plastik ya. Mereka memilah sampah impor tadi itu. Mereka juga jadi terganggu pendapatannya karena aktivitas kami. Mereka jadi berlawanan dengan kami, kontra gitu, terintimidasi,” katanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *