Oleh : Glory Islamic
Pembaca Lentera yang budiman, pada edisi kali ini penulis ingin mengajak untuk belajar satu sifat yang sangat penting untuk hidup keseharian kita. Sebuah kata yang sering diucapkan oleh banyak dari kita. Satu buah kata yang mudah diucapkan bahkan dinasehatkan tapi begitu sulit dimiliki dan dilaksanakan. Easy to say, difficult to do. Sifat itu adalah sabar. Meski sulit harus kita miliki. Karena Allah bersama dan mencintai orang-orang yang sabar.
Pernahkah Anda mengantri ? Suatu hari saya sedang mengantri untuk check in di bandara. Ada sekitar sepuluh orang di depan saya. Waktu masih 40 menit sebelum keberangkatan pesawat. Posisi berdiri yang cukup lama untuk seorang ibu-ibu yang antri di belakang saya. Tiba-tiba ada seorang berpakaian perlente nyelonong lewat sebelah kanan kami dan langsung menuju petugas check in. Dia minta didahulukan dengan alasan dia harus menemui seseorang di dalam.
Petugas check in mencoba untuk disiplin dan konsisten memintanya tetap antri. Tapi orang tersebut ngotot dan berkata bahwa dia orang dekat pejabat airline tersebut. Petugas check in keukeuh tidak mau melayani kecuali sesuai antrian dan aturan. Sambil mengancam dan membentak-bentak orang tersebut menemui petugas lain. Entah bagaimana ceritanya, saat saya memasuki ruang tunggu, orang tersebut sudah ada di dalam dan sedang santai memilih-milih keripik dan foto-foto.
Sebuah potret yang sering kita temui di sekililing kita. Di mana sifat sabar menjadi barang langka. Semua orang ingin lebih cepat dan lebih diistimewakan. Kesabaran yang dibutuhkan untuk menjalani proses yang tentunya memakan waktu, jarang kita miliki. Sayangnya lagi, bila seseorang di sekeliling mulai tidak sabar, maka biasanya kitapun tertular untuk melakukan aksi serupa. Khawatir kalah, khawatir tertinggal atau khawatir tidak kebagian. Muncul kata “siapa cepat, dia dapat”.
Ada sebuah cerita di mana Nabi heran karena tidak biasanya Ali bin abi Tholib ketinggalan sholat jamaah di masjid. Ketika tiba, Nabi bertanya kenapa Ali tertinggal, apa yang menyebabkan dia sampai tertinggal. Ali bercerita bahwa saat berjalan dari rumah menuju masjid ada seorang tua yang juga menuju masjid. Orangtua itu berjalan sangat pelan. Meski jalan sempit, Ali bisa saja meminggirkan orangtua tersebut dan melewatinya. Tapi dia memilih untuk antri dan tetap berjalan di belakang si kakek demi menghormati orang yang lebih tua dan melatih kesabarannya.
Saat kita sakit, apa yang paling kita harapkan? Segera sembuh. Lalu saat kita menjenguk orang sakit, apa yang biasa kita nasehat atau ucapkan? “Sabar ya, semoga cepat sembuh”. Coba teliti, di satu sisi bilang “sabar ya”, namun dilanjutkan “semoga cepat sembuh”. Kata sabar dan kata cepat terasa kontradiktif manakala kita tahu bahwa sabar itu membutuhkan proses yang seringkali lama dan lambat. Sementara cepat itu bermakna sesegera mungkin, bila perlu memotong proses.
Ayub adalah nama seorang nabi yang terkenal kesabarannya. Segala jenis ujian kesabaran sudah dialaminya. Namun ada ujian yang patut kita jadikan cermin. Konon beliau diuji penyakit kulit parah. Sampai-sampai diusir dan diasingkan oleh penduduk ke tengah hutan. Toh demikian beliau tetap sabar beribadah kepada Allah. Jangankan mengeluh, untuk berdoa meminta kesembuhan kepada Allahpun tidak dilakukan. Padahal sebagai seorang Nabi tentu doanya sangat dikabulkan.
Hampir lebih dari tujuh tahun beliau jalani itu dengan sabar. Istrinyapun bertanya, kenapa engkau tidak minta kepada Allah agar diberi kesembuhan. Beliau menjawab “jika aku minta diberi kesembuhan, aku malu kepada Allah. Sebelum sakit ini, Allah sudah memberiku kesehatan selama puluhan tahun sejak kecil. Lalu sekarang ketika Dia memberiku ujian berupa sakit baru berjalan tujuh tahun, rasanya tidak pantas jika aku tidak menerimanya dengan ikhlas dan sabar”. Subhanallah.
Nabi Nuh, salah satu nabi yang bergelar ulil azmi, kelompok elit dari para rasul yang mencapai tingkat kesabaran tertinggi. Allah memberitahu lewat wahyu bahwa akan ada banjir dahsyat dan memerintahkan kepadanya untuk membangun sebuah bahtera di atas gunung. Cemoohan dan pelecehan umat karena memberitakan akan adanya banjir dan membangun perahu di atas gunung, beliau acuhkan. Beliau tetap sabar dan tegar menjalankan perintah Tuhannya.
Setelah bertahun-tahun perahupun rampung dibuat. Hari berganti hari semua orang menunggu apakah ucapan Nuh terbukti. Bulan berganti bulan, ancaman banjir tak tebukti. Orangpun semakin yakin bahwa Nuh berbohong. Bahkan umat mulai ramai menjadikan perahu itu sebagai toilet umum. Toh, Nabi Nuh tetap yakin bahwa janji Allah pasti terbukti dan sabar menunggu kedatangannya. Tahun berganti tahun, empat puluh tahun sudah ancaman itu belum terbukti. Namun ketika orang sudah mulai melupakan, azab itu akhirnya terjadi. Ya, rentang waktu 40 tahun tidak meruntuhkan keyakinan seorang Nabi nuh pada janji Tuhannya. Sebuah kesabaran yang berpondasikan keyakinan bahwa janji Allah pasti benar.
Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Allah memiliki 100% kenikmatan. Yang 1% disebar di dunia ini untuk dinikmati tumbuhan, hewan dan manusia baik yang beriman maupun tidak. Sementara yang 99% ditangguhkan di akhirat nanti, disediakan hanya untuk orang yang beriman. Orang yang tidak ikut rebutan rakus jatah 1% di dunia. 99% khusus untuk orang yang rela dan ikhlas memenjarakan diri dari ambisi dan kompetisi materi duniawi, demi kebebasan surgawi yang abadi di sisi Ilahi.
Prilaku korupsi adalah cermin ketidaksabaran. Prilaku suap baik di jalan ketika ditilang, di kantor ketika mengurus proyek dan administrasi, di sekolahan ketika mendaftarkan anak atau mengurus nilai, di organisasi ketika memperebutkan jabatan adalah buah dari ketidaksabaran. Jamane wis edan, yen ora edan ora keduman. Tapi, sak beja-bejane wong edan, isih bejo wing sing eling lan waspada. Di jaman yang sudah edan ini, ayo sabar menunggu janji Allah yang 99%. Masih lama? Tidak! Yakinlah seperti yakinnya Nabi Nuh. Menderita? Tidak! Mari berpikir seperti cara berpikirnya Nabi Ayub. Bismillah.