Oleh : Glory Islamic
Akhir-akhir ini saya punya hobi baru yakni mengamati pohon kecil yang tepat berada di depan kamar. Ada sekitar empat ekor burung yang tinggal di situ. Sepertinya mereka terdiri dari dua pasang keluarga. Dimulai saat matahari mulai menyembul di ufuk timur, mereka mulai aktifitasnya dengan berkicau. Setelah beberapa menit berkicau di atas pohon, beberapa di antaranya mulai terbang. Ada yang terbang ke arah sawah yang sedang ditanami padi. Bekerja mencari nafkah untuk keluarga.
Seekor lagi turun ke tanah di halaman depan yang banyak pasir dan rumput kering. Setelah menemukan beberapa helai, diapun terbang membawanya dengan paruhnya ke atas pohon. Tampaknya dia sedang membangun rumah, dan rumput-rumput tadi adalah bahan bangunannya. Iseng saya memanjat ingin melihat hasilnya. Luar biasa. Sebuah rumah berbentuk pispot dari bahan rumput dan ranting kering yang teranyam rapi dan kuat. Ada dua lubang, mungkin berfungsi sebagai pintu dan jendela.
Beberapa minggu kemudian terdengar suara mencicit terus menerus bersahut-sahutan. Ya, sepertinya mereka memiliki anak. Mereka telah berkembang biak. Burung yang biasanya pergi ke sawah itu ternyata benar-benar mencari makan, terbukti setiap kali dia pulang suara bayi-bayipun semakin nyaring dan kemudian diam karena kenyang. Jika anak-anak telah kenyang, biasanya kedua pasangan itu lalu asik bermain dan bercengkerama. Sebuah keluarga yang harmoni.
Kini, perhatikanlah diri kita, spesies manusia. Keseharian kita disibukkan oleh aktifitas mencari sesuap nasi untuk bertahan hidup. Amati dan bila perlu tanya satu persatu orang-orang yang berlalu lalang di jalan. Mereka yang berdasi sibuk di kantor. Yang bertelanjang dada berpanas-panasan di sawah. Gadis-gadis penghibur di klub-klub malam. Para pedagang yang di pasar-pasar. Pekerja bangunan sampai politikus. Rakyat melarat sampai pejabat dan konglomerat. Untuk apa mereka bekerja?
Jawaban mereka pasti seragam, untuk mencari makan dan bertahan hidup. Meski kadang untuk yang merasa berpendidikan jawabannya dibungkus dengan kalimat yang disamar-samarkan seperti “ekspresi diri, tuntutan hidup, bahkan dalam topeng ibadah”. Tanya pula anak-anak sekolah untuk apa mereka sekolah maka jawabannya pasti “biar jadi A, jadi B, dst”, yang ujung-ujungnya juga biar bisa mudah cari makan.
Bahkan pernah saya tanya pada seorang ustadz yang terkenal dengan tarifnya yang tinggi. “Kenapa ustadz meminta bayaran untuk ayat-ayat Allah yang ustadz sampaikan?”, tanyaku. Dengan sangat yakin berada dalam jalur yang benar, dia menjawab “ustadz kan juga manusia, butuh makan. Kalau ga pasang tarif gimana anak istri kita dong”. Nah lho? Pikir saya, terus apa beda dengan burung tadi, dia juga mati-matian mencari makan untuk anak istri demi bertahan hidup.
Setiap keluarga pasti mendambakan punya rumah sendiri. Kebutuhan akan tempat tinggal merupakan salah satu kebutuhan primer. Kebutuhan akan rumah kadang disiapkan bahkan sebelum berumah tangga. Menabung dan bahkan ditempuh dengan jalan hutang. Bahan-bahan terbaikpun dipilih. Sama dengan burung tadi, manusia membangun rumahnya sebagus dan sekuat mungkin. Burung membangun rumah, kitapun demikian, bedanya apa dong?
Setelah memiliki pekerjaan, biasanya seorang laki-laki kemudian mulai bersiap membangun keluarga. Instink purba tiap manusia secara otomatis mendorong laki-laki dan perempuan untuk hidup berpasangan. Menikah dan berketurunan. Generasi harus lahir untuk menjamin keberlangsungan sebuah spesies yang bernama manusia. Sebuah proses yang tanpa diajarkanpun akan berjalan secara alamiah. Manusia berkeluarga dan berkembangbiak, burungpun demikian, bedanya apa?
Dari sudut pandang jenis dan kebutuhan ragawi, manusia memang tidak banyak berbeda dengan binatang. Kelebihan manusia hanyalah terletak pada kesempurnaan akal. Al insaanu hayawanu naatiq/ manusia adalah hewan yang berakal. Lebih jauh, seharusnya manusia perlu mempertajam perbedaan itu ke arah yang lebih positif. Berikut adalah beberapa perbedaan yang seharusnya menjadi pembeda utama antara manusia dengan binatang.
Kalau burung mencari makan hanya untuk anak dan keluarganya, wajar. Tidak ada tuntutan untuk berbagi mengingat mereka adalah binatang. Sedangkan manusia adalah makhluk sosial yang hidup secara komunal, adalah konsekwensi logis dari kesempurnaan akal untuk berbagi dengan sesama manusia yang membutuhkan. Selayaknyalah mencari makan tidak hanya untuk keluarga sendiri tapi juga bersedia berbagi dengan mereka yang membutuhkan.
Maka jika ingin tujuan hidup kita berhasil, capailah dengan menjalani hidup yang berbeda dari keluarga burung. Mencari nafkah dan hasil usaha selain untuk kepentingan pribadi dan keluarga, juga sisihkan untuk mereka yang membutuhkan. Jika burung hanya mencari makan untuk dunia saja, karena itu mereka tidak harus berbagi. Tapi manusia mencari makan selain untuk dunia juga untuk akhirat. Konsekwensi harus rela berbagi, karena apa yang kita bagi itulah tabungan bekal makan kita di akhirat.
Rantai hidup spesies burung dan semua binatang lain berhenti dan terputus hanya sampai di dunia ini saja. Wajar dia mereka hanya berpikir tentang bangunan rumah di dunia. Sementara manusia tertakdir memiliki menjalani kehidupan lanjutan setelah dunia ini berakhir, kehidupan akhirat. Harusnya saat membangun rumah di dunia, manusia juga berpikir “bagaimana dengan rumahku di akhirat”, “kapan aku mengumpulkan semen untuk rumah akhiratku”. Tuhan pernah berfirman: siapa yang membangun rumah-Ku di dunia maka akan aku buatkan rumah untuknya di surga.
Jika burung itu cukup puas bisa membesarkan dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya secara fisik, maka manusia harusnya selain fisik, juga memikirkan kebutuhan ruh dan iman anak-anaknya. Jika burung cukup senang bisa melihat anak istrinya tercukupi pangan dan tempat tinggal dunia, maka manusia kudu memikirkan pula sandang, pangan dan papan keluarganya di akhiratnya. Dulurku, singkat saja saya ingin bertanya, sudah berbedakah kondisi kehidupan kita dengan burung tadi? Bismillah.