Oleh : Glory Islamic
Pembaca yang budiman, pernahkah Anda melihat anak-anak Anda berkali-kali melihat jam di dinding saat menunggu buka puasa? Atau justru Anda yang mengalami apa yang biasanya dilakukan anak-anak Anda itu? Sesuatu yang wajar. Tapi sadarkah Anda bahwa ada pelajaran berharga di balik wujud fisik sebuah jam. Sebuah pelajaran tentang eksistensi Allah dan hubungannya dengan manusia sebagai makhluk.
Lihatlah dengan seksama jam. Kalau dilihat dari depan itu terdiri dari jarum, angka dan kaca. Tapi bisakah anda melihat kaca? Tidak. Biasanya mata kita langsung tertuju pada jarum dan angka. Padahal sebelum jarum dan angka ada kaca. Wujud kaca yang bening dan transparan membuat mata kita tidak melihatnya, seolah ‘meniadakan’ kaca.
Demikian pula gambaran kita dengan Allah. Kala kita berhadapan dengan sebuah objek atau bercengkerama dengan seseorang, yang kita lihat tentu obejk atau orang di depan kita. Karena itu yang bisa kita lihat dengan mata telanjang ini. Tapi sadarkah kita bahwa sesungguhnya ada Allah sebelum kita dan orang di depan kita? Eksistensi Allah Yang Maha Ghoib, Yang Maha Suci sehingga mata biasa tidak mampu melihat Allah dan langsung melihat objek di depannya. Seolah kita ‘meniadakan’ Allah. Allah tidak bisa disamakan dengan kaca, gambaran ini hanya untuk memudahkan kita memahami kehadiran-Nya.
Yang kudu kita pelajari bersama adalah, menyadari eksistensi Allah Yang Maha Nyata tersebut. Bahwa meskipun mata biasa ini tidak mampu melihat Allah, harusnya mata hati – sinar imanlah yang bisa merasakan keberadaan Allah. Bahwa di antara kita dengan orang atau objek yang ada di hadapan kita, ADA ALLAH. Ajak hati dan perasaan kita untuk “mengenali dan merasakan” keberadaan-Nya yang menggenangi dan ada di antara kita.
Kemampuan merasakan keberadaan-Nya, memiliki manfaat yang sangat besar dalam konteks hubungan antar manusia. Kita tidak akan berani su’udzon (negatif thinking) orang yang ada di depan kita. Ada kesadaran bahwa sebelum kita dan orang tersebut ada Allah. Kondisi mana yang juga menyadarkan kita, bahwa kalau kita su’udzon orang di depan kita berarti kita sudah terlebih dahulu su’udzon pada Allah. Sebelum pikiran negatif itu tertuju kepada orang di depan kita, terlebih dahulu ‘melewati’ Allah.
Jika su’udzon saja tidak berani, bagaimana mungkin seseorang bisa menghina. Bagaimana pula seseorang tega membenci apalagi membunuh, jika menghina saja tak sampai hati. Semuanya dilandasi oleh kesadaran akan hadirnya Ilahi di antara jasad dan memenuhi jiwa ini. Bahwa Allah ada di antara kita dan objek apapun yang ada di sekililing kita. DIA hadir dan mengawasi semua tindak tanduk kita sekecil apapun itu.
Mudahnya manusia berprasangka buruk terhadap orang lain, menghina dan mencaci salah satunya disebabkan oleh tidak adanya kesadaran bahwa Allah ada di antara kita. Carut marut kondisi umat manusia akhir-akhir ini sedikit banyak dipicu oleh gejala materialisme yang menguat. Paham yang mendewakan materi dan menjadikan hal yang bisa diukur secara lahir sebagai patokan kebenaran dan tujuan. Sehingga Allah yang ghoib menjadi hal yang pembicaraan yang tak laku karena dianggap tidak bisa diukur secara logika, bahkan dirasakan sebagai dongeng masa lalu.
Memang wajar manusia tidak memiliki kemampuan untuk senantiasa merasakan kehadiran-Nya. Apalagi Allah ghoib, tidak tampak mata. Di sinilah iman yang bersinar – iman yang haqqul yaqin – diperlukan oleh setiap pribadi. Mata biasa tidak akan pernah mampu “melihat” Allah, maka mata hati yang disinari iman-lah yang bisa merasakan keberadaan Allah. Iman yang tidak hanya berhenti pada ucapan di bibir Iman yang benar-benar tercermin pada prilaku.
Hati yang masih ‘nyaman’ memendam dendam dan dengki, bibir yang masih gemar mencela dan mencaci, sikap yang masih suka melakukan diskriminasi dan berbuat anarki, bukti iman belum menghunjam dalam sanubari.
Kini tanyakan pada masing-masing pribadi, seyakin apa kita percaya pada Allah? Jika jawabannya adalah yakin atau bahkan sangat yakin, pertanyaan selanjutnya adalah apa buktinya? Jika ingin membuktikan di tingkat mana “yakin” tersebut, coba intip dampak iman itu dari teropong hubungan antar sesama. Karena iman kepada Allah (hablu minallah) itu memiliki korelasi tak terpisahkan dengan bagaimana kualitas hubungan kita dengan sesama (hablu minannaas).
Dulur, iman adalah kaca hati. Tidak cukup hanya dipasang di dalam diri. Karena meski terpasang tapi kotor oleh debu dosa tiap hari, menjadi tidak berarti, karena tidak bisa memantulkan cahaya Robbi. Perjalanan hidupnya gelap tidak diterangi oleh hidayah (cahaya Ilahi). Sebaliknya bila piranti iman itu bersih dan suci, akan mampu memantulkan sinar Allah Yang Maha Suci, maka teranglah pula jalan hidup ini. Mari miliki kaca hati supaya terang hidup ini oleh pantulan sinar Ilahi. Dalam ridlo-Nya, hal itu akan berdampak nyata pada hubungan yang penuh kasih dengan sesama insani. Bismillah.