Oleh : Glory Islamic
Sempitnya lapangan kerja di negeri sendiri dan minimnya keahlian yang dimiliki di satu sisi, sementara di sisi lain lapangan kerja terbuka luas dan tidak menuntut skill yang tinggi, memicu eksodus besar penduduk usia produktif negeri ini guna menjadi tenaga kerja di negeri seberang. Sebagai kuli bangunan, pembantu rumah tangga, sopir, penjaga toko, baby sitter, perawat atau jualan makanan. Berbekal tekad dan pengetahuan pas-pasan mereka menyabung hidup demi nasib dan masa depan yang lebih baik.
Tenaga Kerja Indonesia atau TKI sebutan untuk laki-laki dan Tenaga Kerja Wanita atau TKW sebutan untuk yang perempuan. Ada pula yang memberikan gelar mereka pahlawan devisa, mengingat banyaknya devisa yang tanpa sadar mereka bawa masuk ke Indonesia. Beragam warna kisah menyertai fenomena TKI dan TKW. Mulai yang kelam disiksa majikan, terabaikan oleh sistem yang belum sempurna atau bahkan cerita sukses yang banyak memotivasi orang mengkuti jejaknya.
Daripada mengupas cerita duka yang kerap berujung pada saling tuding dan lempar tanggungjawab, saya lebih memilih mengajak sampean menengok kisah sukses para TKI/TKW, kemudian mencermati kira-kira pelajaran apa yang bisa kita petik dari mereka. Kebetulan beberapa tetangga dan teman saya sudah bertahun-tahun bekerja sebagai TKI di beberapa negara seperti Malaysia, Hongkong dan Arab Saudi. Berikut beberapa pelajaran hasil saya ngobrol lesehan dengan teman yang bekerja di Malaysia.
Untuk sebagian tenaga kerja non formal, Malaysia seperti sebuah negeri impian. Surga bagi para pencari kerja yang bermodalkan skill pas-pasan. Toh demikian mereka tetap ingat dan sadar Malaysia adalah kampung orang. Indonesia tetap melekat di hati sebagai kampung halaman. Betapapun indah negeri seberang tetap saja tak seelok negeri warisan nenek moyang. Ada garis jelas di batas kesadaran sanubari mana negeri tetangga dan mana kampung halaman sendiri.
Refleksi dari hal tersebut, dunia ini adalah “malaysia-nya” kehidupan manusia. Persinggahan sementara manusia di tengah perjalanan panjangnya menuju kampung halaman. Normalnya, manusia yang masih eling, tentu terpatri kesadaran dunia hanyalah persinggahan, akhiratlah tujuan akhir perjalanannya. Akhirat adalah “Indonesia-nya” kehidupan manusia. Semenarik apapun gemerlap dunia, takkan bisa disanding sejajarkan dengan akhirat.
Buat para TKI, Malaysia hanyalah tempat bekerja mencari nafkah, tidak lebih dari itu. Tidak ada rasa cinta, apalagi sampai ingin tinggal selamanya. Berapapun lama dia bekerja, perasaannya tetap sama, ini hanya untuk sementara. Kepentingannya hanya mencari nafkah untuk dikirimkan ke kampung halaman. Setelah semuanya cukup, dia akan tetap pulang ke Indonesia. Di tanah tumpah darah itulah dia akan menghabiskan seluruh sisa umur hidupnya.
Bagi anak cucu Adam, dunia hanyalah tempat bekerja dan mengumpulkan amal kebaikan, tidak lebih dari itu. Harusnya tidak ada rasa cinta, apalagi ingin berumur panjang, yang berarti ingin tinggal selamanya atau lebih lama di dunia. Sepanjang apapun umur kita, tetap saja ini hanya sementara. Kepentingan kita hanya bekerja dan hasilnya dikirimkan ke kampung akhirat, melalui sedekah. Saat tiba waktunya, kita akan pulang ke akhirat. Kampung abadi tempat kita akan hidup kembali selamanya.
Sebagian besar TKI, rela hidup seadanya selama bekerja di Malaysia. Empat sampai lima orang berhimpitan berbagi kamar sempit adalah pemandangan lumrah. Malah, mereka yang statusnya ilegal merasa lebih aman tinggal di bedeng-bedeng mirip tenda. Makan nasi bungkusan, atau masak sendiri dengan lauk ala kadarnya. Disisihkan kehendak untuk bangga dan rayuan hati ingin dipuji. Mereka sadar Malaysia bukan tempat untuk mendapatkan semua itu.
Pemandangan kontras terpampang di kampung-kampung mereka di Indonesia. Rumah-rumah mereka megah, bahkan kadang sekampung paling mewah. Selama di Malaysia mereka memang menahan diri hidup berlebihan, itu dilakukan agar bisa hidup serba berkecukupan di Indonesia. Buat mereka tidak mengapa di Malaysia menjalani hidup melarat, asalkan di Indonesia bisa bergaya hidup konglomerat. Biarlah diremehkan di Malaysia, asalkan terhormat di Indonesia.
Orang beriman, ikhlas hidup sederhana di dunia seperti teladan para nabi. Rumah apa adanya, dibangun dengan prinsip “asal tidak kehujanan, asal tidak kepanasan”. Selama di dunia mereka menahan diri dari gaya hidup hedon. Merasa cukup dengan baju berstandar menutupi aurat. Makananpun ala kadarnya. Ikhlas menempuh semua keserbaterbatasan itu di dunia, asalkan mendapat rumah type “masakina thoyyibatan”, berlimpah makanan, baju bertabur berlian di akhirat. Tidak mengapa diremehkan di dunia asalkan di akhirat hidup mulia.
Kemana sih hasil kerja para TKI itu sampai hidup serba pas-pasan di rantauan? Para TKI itu pandai mengelola keuangan, mereka bekerja penuh perhitungan. Uang hasil banting tulang itu ditabung untuk dibawa atau dikirimkan ke kampung halaman. Mereka tidak lupa tujuan utama ke Malaysia. Hanya orang bodoh yang menghabiskan hasil kerjanya di kampung orang. Jika kemudian pulang dari perantauan tidak membawa hasil di tangan, resikonya anak istri bisa kelaparan.
Meniru para TKI yang cerdas, kita mestinya lebih tangkas dalam mengelola hasil kerja keras. Kita tidak boleh lupa bahwa dunai bukanlah tujuan perjalanan. Harta hasil banting tulang, mari ditabung untuk dibawa pulang atau dikirimkan ke kampung halaman, akhirat negeri keabadian. Hanya orang fasik yang lupa kampung halaman, dan menghabiskan hasil kerjanya di negeri rantau dunia ini. Bila saatnya pulang, menghadap Tuhan tanpa bekal di tangan, akibat fatalnya terbuang ke neraka, negeri hukuman.
Para TKI mengirimkan sendiri hasil kerjanya saat mereka masih bekerja di Malaysia, dijamin sampai. Itu juga lebih aman daripada para TKI pulang terlebih dulu sementara hasil kerjanya dititipkan pada teman untuk dikirimkan setelah mereka sampai di rumah. Dulur, kirim (sedekah) kanlah sendiri hasil kerja sampean ketika nyawa masih di kandung badan. Itu lebih aman daripada sampean tinggalkan hasil kerja di dunia, kemudian berharap dikirimkan oleh ahli waris ke akhirat sampean. Bismillah.