Oleh : Glory Islamic
Jujur ide tulisan ini muncul dari sepasang ayam kate. Saat ini kami sedang mengembangkan pesantren ramah lingkungan di sebuah pegunungan di Bali. Seorang hamba Allah mewakafkan sebidang tanah untuk keperluan tersebut. Lahan masih dipenuhi pepohonan liar dan semak belukar. Kami benar-benar mulai dari nol. Babat alas. Pembersihan lahan sampai pembuatan gubuk sederhana. Seorang jemaat memberikan sepasang ekor ayam untuk menemani kami di lahan tersebut.
Ayam-ayam itu berasal dari kota yang dirawat dengan baik dan diberi makan dengan cukup. Hebatnya, tidak ada prilaku yang menunjukkan stress karena berada di daerah baru. Saya berpikir andai mereka bisa bicara, mereka juga tidak akan banyak mengeluh. Mereka samasekali tidak khawatir apalagi takut makan apa atau tinggal di mana. Malam menjelang, ketika kami masih kerepotan mendirikan tenda darurat, mereka sudah nyaman di rumah baru mereka, nangkring di dahan pepohonan.
Di lain waktu, seseorang datang ke tempat saya dan mengeluhkan kondisi ekonominya. Dia dan keluarganya baru pindah ke Bali demi sesuap nasi. Menurutnya sangat sulit mengais rizki saat ini. Situasi juga tidak memihak padanya. Sesekali malah ada kesan menyalahkan nasib dan takdir. Wah. Ingatan saya langsung berlari menuju sepasang ayam tadi. Logika saya mulai membanding-bandingkan antara dua jenis makhluk Tuhan itu, manusia dan ayam. Lebih berani mana, lebih adaptatif mana.
Denga anatomi tubuh yang terbatas ayam terbukti tidak takut menghadapi perubahan lingkungan dan fasilitas. Dengan volume otak yang jauh lebih kecil dari manusia, sepasang ayam tadi lebih memilih untuk langsung berbuat dan beradaptasi daripada mengeluh dan menyalahkan keadaan. Mereka langsung mematuk dan makan apa yang disediakan alam, rayap dan semut semut kecil.. Seolah mereka begitu yakin bahwa Tuhan sudah menakar fisik yang dianugerahkan akan cukup untuk bertahan hidup.
Di sisi lain, manusia yang diberi kelengkapan fisik sempurna malah kerap dihinggapi ketakutan dan paranoia akan lapangan kerja dan ketersediaan pangan. Otak manusia yang jauh lebih besar dengan tingkat kesempurnaan yang lebih justru lebih sering mengeluh akibat tidak menemukan jalan keluar dalam beradaptasi dengan lingkungan. Jangankan mengikuti jalan hidup yang sesuai dengan aturan Tuhan, untuk sekedar survive saja banyak manusia yang menyerah bahkan harus saling bunuh.
Akui saja bahwa dalam kasus ini kita kalah berani dari ayam. Bahkan masih kalah dibanding seekor semut. Tidak percaya? Cobalah ambil seekor semut di tempat sampean, kemudian masukkan semut tersebut ke dalam gelas plastik lalu tutup. Bawalah semut tadi ribuan kilometer jauhnya dari tempat sampean lalu lepaskan semut itu di sana. Kira-kira apa yang terjadi? Takutkah semut itu kekurangan pangan? Tidak! Percayalah semut itu akan segera mencari makan, bersosialisasi dan hidup di sana.
Sekarang cobalah itu pada diri sampean. Bila tiba-tiba ada yang mengajak sampean pindah ke suatu tempat yang belum pernah sampean kunjungi atau kenal sebelumnya. Berani? Pasti akan segera muncul seribu satu macam pertimbangan yang menghalangi atau setidaknya menunda sampean untuk mengiyakan ajakan tersebut. Tinggal di mana nanti? Makan dan kerja apa? Siapa yang bantu jika ada apa-apa? Bagaimana dengan kerjaanku sekarang? Keluargaku bagaimana? Dan seterusnya.
Dulu ketika Rasulullah mendapatkan perintah hijrah dari Mekah ke Madinah, suasana kebatinan yang sama juga dirasakan oleh para sahabat. Jarak antara Mekah dan Madinah sekitar 500 km dipisahkan oleh gurun pasir ganas sepanjang perjalanan merupakan tantangan tersendiri. Ditambah ancaman haus dan lapar selama perjalanan serta binatang buas. Belum lagi resiko tertangkap oleh pasukan kafir yang memburu mereka. Semua itu tentu wajar menghalangi sebagian pengikut nabi untuk ikut hijrah.
Juga tidak mudah memutuskan untuk meninggalkan kampung kelahiran dan sanak kerabat yang karena perbedaan keyakinan harus berpisah. Atau merelakan rumah yang sudah dimiliki dan didiami turun temurun untuk menuju daerah baru yang belum pasti punya rumah atau tidak. Butuh keberanian tingkat tinggi sampai bisa meminggirkan semua ketakutan dan kekhawatiran itu. Diperlukan keyakinan yang berpondasi kuat pada janji Sang Maha Pemberani Jani, Ilahi Robbi.
Terbukti, hanya sebagian kecil sahabat yang kemudian berani memutuskan untuk hijrah menyusul Rasulullah ke Madinah. Berpisah dengan keluarga, rumah, pekerjaan, sawah ladang, harta dan teman kerabat, demi cinta dan keyakinannya pada ideologi baru, harapan baru dan kehidupan baru, Allah dan rasul-Nya serta janji kemuliaan akhirat. Bagi para muhajirin itu, hilang sudah rasa takut mereka akan penderitaan dunia dikalahkan oleh rasa takut penderitaan akhirat.
Jika sepasang ayam tadi yakin akan apa yang disediakan alam, maka orang-orang berima jauh lebih yakin akan janji Allah. Yakin ketika Allah memasang tiap organ tubuh ini, pasti lebih dari cukup untuk bertahan hidup. Saat Allah memerintahkan manusia mengikuti agama-Nya, orang beriman yakin Allah pasti akan mencukupi kebutuhannya asalkan siap hidup dalam standar para Rasul-Nya. Mereka tidak lagi hidup mengejar standar kebahagiaan duniawi, karena sudah cinta mati pada janji surgawi.
Kita takut menghadapi tantangan hidup karena karena tidak percaya pada (janji) Tuhan. Kita khawatir kekurangan rizki karena standar hidup tidak berdasar aturan kitab suci. Kita ragu mengorbankan harta karena kita berpikir seolah akan hidup selamanya tidak mati, sehingga harta ditumpuk disimpan untuk kebutuhan nanti. Kita takut meninggalkan kebiasaan riba, seolah-olah tidak bisa bisnis tanpa pinjaman berbunga kaum loba. Padahal banyak dulur kita yang membuktikan, sesungguhnya semua ketakutan itu hanyalah fatamorgana, sama fatamorgana-nya dengan iming-iming kenikmatan dunia.
Dulurku, di akhirat nanti, saat milyaran manusia bangkit dengan bentuk dan wajah buruk sesuai prilaku saat di dunia, ada sebagian kecil yang wajahnya bercahaya. Kala sebagian besar manusia penuh ketakutan dan kekhawatiran, ada sebagian kecil manusia yang tidak lagi takut dan khawatir. Mereka yang ketika hidup di dunia tidak khawatir miskin untuk menjadi mukmin, tidak takut kehabisan rizki demi berbagi dan tidak takut dihina untuk meraih derajat takwa. Merekalah para pemberani itu. Kini, seberani apa sampean? Bismillah.