Oleh ; Glory Islamic
Para penonton di studio maupun di rumah tak hendak beranjak dari tempat duduknya, demi menyaksikan seorang penceramah yang meliuk-liukkan badannya mengikuti irama ceritanya. Tutur katanya rapi ditata, terkadang mengundang tawa dan tak jarang di-stel terbata-bata untuk mengundang air mata. Mimik bibir dan air mukanya pun sengaja diubah-ubah antara serius, sedih dan jenaka. Semuanya diatur sedemikian rupa untuk satu tujuan saja; menyedot pemirsa sebanyak-banyaknya.
Semakin hari, semakin banyak saja ragam cara para penceramah itu menghibur audiens-nya. Kian hari kian banyak pula seseorang yang sebelumnya tak pernah dikenal, tiba-tiba menjadi sosok fenomenal. Mulai dari yang mengandalkan karisma wajah rupawan sampai yang mengeksploitasi face yang bak punakawan. Cukup dengan modal pengetahuan agama pas-pasan, mereka pede sekali menjawab pertanyaan hukum dan syariat agama sesuai pesanan.
Umumnya pemirsa televisi di Indonesia memandang fungsi tivi hanya dua saja; media informasi dan hiburan. Maka pemirsapun cenderung terbagi secara segmentatif dalam memilih acara televisi. Bagi kalangan terdidik dan kritis lebih memilih tivi sebagai pelengkap dan menyuplai kebutuhan informasinya. Sementara kalangan bawah menjadikan hiburan sebagai standar dalam memilih acara televisi. Di Indonesia kalangan kedua inilah yang merupakan konsumen terbesar produk-produk acara pertelevisian di Indonesia, yang melihat televisi sebagai hiburan.
Hal ini ditangkap dengan cermat oleh para pengusaha media elektronik sebagai ceruk yang menggiurkan. Ratusan juta pemirsa di Indonesia adalah lahan bisnis yang luar biasa. Mereka berlomba-lomba untuk membuat acara yang mampu menarik minta jutaan pemirsanya. Lihatlah betapa televisi semakin penuh sesak oleh acara hiburan tanpa mempedulikan kualitas. Alih-alih hadir di tengah masyarakat dengan peran edukasi, menjalankan peran penjaga moral generasi saja sudah dianggap hal yang basi. Yang dijadikan ukuran hanyalah rating tivi.
Ya, rating tivi kini adalah raja yang harus disembah jika ingin memenangkan pertarungan bisnis siaran televisi. Rating tivi adalah sebuah model scoring yang dibuat oleh perusahaan pembuat rating yang konon merupakan hasil survey tertentu terhadap pemirsa. Pembuat rating memberikan score tinggi untuk acara-acara yang “oleh pemirsa” dirasakan masuk kategori “digemari atau bermanfaat”. Intinya semakin digemari sebuah acara, maka nilai rating-nya juga akan semakin tinggi.
Acara-acara televisi terutama yang live dan berbiaya besar sangat mengandalkan pemasukan dari iklan. Industri pertelevisian tidak bisa hidup tanpa iklan. Sedangkan para pemasang iklan pasti memilih acara yang memperoleh rating tinggi dari perusahaan pembuat rating. Namun kini banyak dugaan bahwa rating tivi itu adalah produk abal-abal. Bahwa rating tivi bukanlah hasil penelitian atau survey yang konsisten mengikuti metodologi rating yang sah. Juga bukan benar-benar penilaian murni pemirsa. Melainkan hasil rekayasa untuk kepentingan para penyewa dan pengguna jasa.
Sayangnya, acara-acara yang tidak bermutu dan picisan malah sering memperoleh rating tinggi. Sementara tayang-tayangan yang edukatif dan inspiratif kurang mendapat perhatian dan mendapat rating rendah dan dijauhi. Kondisi ini juga berlaku pada tayangan-tayangan ceramah atau acara-acara bertajuk religi. Sosok yang gemar mengobral unsur entertainment atau hiburan lebih berpeluang mendapat atensi dan rating tinggi. Sedangkan sosok yang lebih mengedepankan akhlak dan menjalankan peran edukasi, dianggap tidak seksi dari segi rating tivi dan cenderung tidak dipakai lagi.
Dengan pertimbangan itu pula pihak televisi-pun akhirnya berlomba memperoduksi acara ceramah yang bisa menaikkan rating. Para penceramah yang pandai akting dan piawai membuat ketawa-ketiwi, dijaring dan dicomot dari penjuru negeri. Keluhuran budi pekerti dan standar keilmuan yang tinggi, tidak lagi menjadi piranti para produser acara religi untuk menyeleksi para da’i. Efek dominonya, para penceramahpun mati-matian memoles diri agar bisa mendapatkan dua peran; dai sekaligus selebriti.
Yang muncul kemudian adalah ceramah yang – maaf – tidak berbobot. Hal itu tampak dari cara dan materi ketika menjawab pertanyaan pemirsa. Dalil dan hujjah yang dipakai terkesan lemah dan asal comot. Istimbath (metodologi) untuk menghasilkan suatu hukum syar’i pun tidak mengikuti qoidah ushuliyah yang sah. Mereka lebih sering menggunakan asas “kira-kira” dan dangkalnya logika. Hasilnya, produk atau jawaban hukum agama (isbath) yang dihasilkan para penceramah model ini jauh dari kualitas mumpuni.
Pemirsa yang sebagian besar dari kalangan bawah menyukai mereka. Sebuah pilihan yang wajar. Dan kitapun tidak bisa menyalahkan hal ini. Hanya celakanya, rata-rata pemirsa yang awam dalam hal agama menjadikan materi ceramah itu sebagai rujukan utama dalam hidup dan beribadah. Menyedihkan memang. Karenanya, tulisan ini mengajak untuk lebih cerdas dalam memilah dan memilih acara tivi, terutama yang bernuansa religi. Saksikan da’i berilmu tinggi yang mengedepankan keluhuran budi pekerti; bukan da’i bermodal rating tinggi yang berambisi menjadi selebriti. Hindari sosok yang hanya bisa olah kata dan terkenal di media, ayo ikuti da’i yang memberi teladan dan berakhlaq-karimah;. Bismillah.