Oleh : Arbitrator Muchtar
“Ayo coba, sedikit saja, enak ini, ” godaku.
“Tidak sebanding dengan penderitaan setelahnya,” jawabnya.
Tarak, begitu biasanya warga dan kerabat di Lamongan menyebutnya. Langkah mitigasi diri dari penyakit dengan tirakat makanan.
Didasari kesadaran menghindari kemungkinan terburuk yang disebabkan makanan. Meski makanan tersebut disuka dan terasa nikmat di lidah.
Mengingat dampak yang dirasa begitu menyiksa dan lama disandang.
Suguhan sayur kacang, tidak bergeming. Lodeh apalagi, linu alasannya.
Sate kambing dengan bumbu kacang dan taburan bawang yang aduhai menggoda pun tak terpesona, kolesterol darah tinggi katanya, dan banyak contohnya.
Entah berapa akurat secara medis, biasanya yang sadar usia tidak lagi muda membuat standar dari fakta yang dirasa setelah mengecap sebuah menu makanan.
Tarak, tidak selalu berkait pada penyakit jasad. Istilah dan kata itu diciptakan Allah memiliki banyak hikmah dan makna.
Jika dibedah lebih luas, “tarak” bisa di logika kita hidup di dunia. Dimana kita kudu mencegah, menghindari sesuatu yang nampak indah nikmat.
Karena hanya kolilan (sedikit) kebebasan dan kepuasan dunia hanya sedikit dan sangat sementara. Dibanding penderitaan setelahnya yang kekal dan lama jangkanya.
Hidup benar sesuai jalan sirotol mustaqim, pasti ada pantangan. Nafsu ingin bebas puas di dunia kudu ditaraki.
Keinginan bebas mengambil hak orang lain, korupsi, mencuri, merampok jangan, itu sementara. Kadang belum sampai akhirat, dunia sudah berdampak sakit, berupa penjara dan penghinaan.
Bebas nikmati hasil usaha untuk pribadi, kudu dicegah dengan hasil usaha untuk kebersamaan. Ingin rumah mewah, ditarak dengan cukup sederhana saja, selebihnya untuk bangun masjid, jalan dan membuat rumah untuk yang papa.
Begitu juga kebebasan makan, dicegah dengan puasa. Nafsu perintah tidak sholat, atau sholat sendiri dirumah, ditarak dengan sholat berjamaah.
Itulah kenapa suatu ketika sahabat Rasul Muhammad menangis melihat bekas pelepah dipunggung beliau, kemudian ingin membelikan kasur yang empuk, Rasul menolaknya.
“Kita di dunia hanya singgah sementara di bawah pohon dan akan melanjutkan perjalanan ke akhirat. Kenikmatan dunia bukan milik kita, di akhirat yang abadi kita dinanti.
Bukan karena tidak bisa dan tidak mampu, tapi memang menyadari akan resiko yang tidak sebanding jika memilih puas bebas “makan” dunia.
Istilah Gus Hafidh “hidup adalah pilihan, pilihlah resiko terkecil, dan resiko terkecil adalah dunia, resiko terbesar adalah akhirat.”