Oleh : Glory Islamic
Pemain bola itu menangis sesenggukan sambil berjalan lunglai meninggalkan lapangan permainan. Sebagian pemain berusaha membujuknya agar tetap melanjutkan permainan, sebagian yang lain hanya bisa diam membisu. Tapi si pemain tetap berjalan keluar lapangan. Dia benar-benar tidak kuat mendengar ejekan dan tingkah penonton yang menghinanya dengan menirukan suara monyet dan melemparinya kulit pisang. Pemain berkulit hitam tersebut tak bisa berbuat apa-apa meski hatinya sakit luar biasa. Meninggalkan lapangan adalah satu-satunya protes yang bisa dia lakukan.
Sejarah kelam umat manusia yang diwarnai banyak tinta kotor prilaku rasis, nyatanya sampai kini masih eksis. Perkembangan peradaban dan modernitas ternyata tak mampu memadamkan api jahat pengobar permusuhan dan ideologi fasis. Masyarakat secara tidak sadar masih saja terjebak dalam sekat-sekat pemikiran sempit berupa keunggulan warna kulit, kelompok suku, superioritas ras yang berujung pada gejala sikap narsis dan bahkan prilaku anarkis.
Apa yang baru-baru ini kita dengar dan saksikan di Lampung hanyalah letupan kecil dari rentetan ledakan-ledakan permusuhan antar suku yang sudah sering terjadi sebelumnya. Dan besar kemungkinan akan masih terus terjadi bila kita lengah. Karena di negeri kita ini ada ratusan titik-titik rawan yang disinyalir bisa menjadi letupan-letupan lain bila tidak segera diminimalisir. Mirisnya, adalah hal-hal remeh temeh saja sudah bisa memantik permusuhan dan kerusuhan.
Tak kurang, di sekitar kitapun masih banyak ditemukan prilaku rasis. Di satu sisi merasa lebih unggul dari individu atau kelompok lain dan di sisi lain merendahkan, melecehkan individu kelompok lain, hanya karena perbedaan kulit atau ras. Perasaan lebih unggul ini dipupuk dan kemudian tumbuh menjadi ide-ide sektarian dan primordial yang kini menggejala. Meminjam istilah anak muda, itu semua adalah kebanggaan sotoy, kesukuan lebay dan solidaritas alay yang kian nge-trend akhir-akhir ini.
Sekat-sekat kedaerahan yang dulu sempat mencair dan melebur, sepertinya kini mengkristal kembali. Di dunia politik dogma dan istilah putra daerah menjadi kriteria utama, sementara integritas dan kualitas urusan belakang. Dalam bisnispun demikian, expart yang dari suku atau warna kulit tertentu sering diharuskan sebagai kriteria exepertise sebuah jabatan, mengabaikan fakta bahwa banyak talenta lokal yang jauh lebih expert. Kekuatan modal juga melanggengkan praktik-praktik ini.
Dalam dunia hiburan, kita juga dipaksa menelan paham bahwa warna kulit dan rambut, bentuk hidung dan ras tertentu lebih baik dan layak diidolakan daripada warna, bentuk dan ras lainnya. Bentuk tubuh dan warna kulit yang diangap minor serta kekurangan fisik lebih sering dijual karena potensinya untuk dijadikan bahan olok-olok. Pandangan rasis yang sedihnya kini dianggap biasa dan bahkan berubah menjadi sebuah keniscayaan. Sesuatu yang ditentang oleh ajaran agama.
Sayangnya dalam praktik, komunitas keagamaan juga tidak bisa bebas dari paham sinting ini. Masih saja ada yang keukeuh meyakini bahwa bangsa tertentu lebih berhak menjadi penafsir dan panutan nilai-ilai agama. Seseorang selalu dianggap mulia dan dikhultuskan, tidak peduli apapun kejahatan yang dilakukan, hanya karena dia dikategorikan sebagai keturunan nabi. Padahal Nabi sendiri bersabda akan memotong tangan anaknya jika terbukti mencuri, yang itu memberi sinyal bahwa siapapun punya potensi buruk juga potensi baik. Siapapun sama di mata hukum, termasuk hukum agama.
Sejak kapan bangsa tertentu adalah anak emas Tuhan Yang Maha Kuasa? Siapa yang bisa menjamin bahwa keturunan tertentu mempunyai imunitas terhadap dosa? Bukankah tidak ada satupun dalil yang membenarkan klaim bahwa keturunan Nabi di akhirat pasti aman dari siksa? Apa ukurannya sehingga ras tertentu memiliki hak mengatur ras lain karena merasa lebih hebat dan serba bisa? Siapa yang membolehkan suku tertentu memaksakan kehendak, mengusir yang lain karena merasa lebih perkasa?
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”, qs. 49:13
Bisa saja Allah menciptakan kita dalam satu jenis entitas. Warna kulitnya sama, bahasanya seragam dan berkumpul dalam satu bangsa saja. Tapi itu tidak dilakukan-Nya. Karena justru Allah menjadikan ribuan suku, kulit yang warna-warni, gen yang beragam untuk menghilangkan sekat fanatisme manusia terhadap hal-hal tersebut. Bahwa di mata Allah bukan itu semua ukuran keunggulan dan kemuliaan. Apapun suku, ras dan warna kulitmu, yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.
Dulur, sudahi basa-basi anti rasisme yang berhenti pada slogan dan jargon. Ayo kita awali dengan aksi nyata dari pribadi kita masing-masing. Mulailah memahami bahwa suku, ras dan kelompok bukanlah jaminan keunggulan dan kemuliaan. Hilangkan kebanggaan apalagi fanatisme buta yang membawa kita pada ketidakadilan dan perpecahan. Eliminasi titik kerawanan konflik di negeri ini dengan mengimani bahwa saling kasih dalam bhineka tunggal ika adalah salah satu unsur ke-taqwa-an. Bismillah.