Oleh ; Glory Islamic
Tiap khutbah Jumah pasti kita dengar seruan khotib untuk meningkatkan taqwa. Sesuatu yang pasti diserukan berulang-ulang secara wajib oleh para peng-khutbah tiap minggu. Bagi yang terbiasa mendengarkan khutbah dengan seskama pasti hafal satu kata itu. Tapi bagi datang jumatan hanya karena adat kebiasaan mungkin tidak memperhatikannya. Toh demikian belum ada jaminan bagi yang mengetahui seruan taqwa itu kemudian melaksakannnya.
Seruan taqwa kepada Allah dan ta’at kepada Rasul-Nya mungkin mudah diucapkan dan didengarkan tapi sepertinya sulit untuk diamalkan. Seseorang akan menjalankan perintah tersebut harus sadar keberadaan Allah yang ghaib (tak tampak mata telanjang). Bahwa yang harus ditakuti dan ditaati adalah dzat yang tidak tampak mata. Lebih mudah bila harus menghormati, takut atau taat pada seseuatu atau seseorang yang bisa dilihat lahir.
Demikian pula para Rasul-Nya yang dalam pandangan lahir adalah remeh, gembel, tak punya kedudukan, harta. Sedang kebiasaan orang yang didekati, dihormati dan dita’ati adalah berkedudukan tinggi, kaya harta. Kiranya lebih mudah bagi kita kalau disuruh takut dan ta’at kepada Presiden atau Polisi karena tampak secara lahir baik kekayaan, kedudukan maupun kekuasaannya, jelas gampang. Tapi kalau takut dan ta’at kepada Allah yang ghaib, tak tampak mata telanjang. Jika perintah ta’at dan patuh pada Presiden atau Polisi yang tampak mata, terdengar telinga, terlihat kekuasaannya saja masih sering tidak dihiraukannya hal ini perlu menjadi pemikiran.
Memang kebanyakan umat beragama ini dalam beribadah hanya ikut-ikutan warisan budaya, sehingga tidak pernah sampai pada sasaran yang sebenarnya. Hal ini bisa kita buktikan kenyataan yang ada ditengah umat, jika ada surat dari Polisi atau instansi lain yang berisikan teguran, peringatan atau bahkan ultimatum, maka seketika itu pula akan mendatangi panggilan itu atau minimal bersikap prihatin dan waspada bahkan sedih. Tapi tatkala ada surat peringatan teguran dan ancaman dari Allah SWT. dalam Al-Qur’an baik mengenai bekal akhirat atau ancaman siksa neraka sangat sedikit manusia yang menggubrisnya apalagi takut dan prihatin.
Demikian pula ketika ada surat panggilan lowongan kerja, menerima hadiah, mengikuti lomba yang bersifat duniawi dari manusia yang langsung dapat terlihat dan dirasakan, langsung saja disambut dengan penuh antusias dan gembira namun berulangkali Allah SWT. dan Rasul-Nya menawarkan kenikmatan dan kebahagiaan syurga sebagai hadiah dalam lomba fastabiqul khoirot, maka tak ada seorangpun (kurang dari ada) yang menyongsongnya dan berharap mendapatkannya. Dan ini wajar, sebab Allah SWT. yang mempunyai syurga sifatnya ghoib, yang ditawarkan masih jauh di awang-awang (ghaib), bagaimana orang akan antusias.
Saya khawatir, orang-orang berteriak lantang menyerukan peningkatan taqwa kepada Allah SWT. baik dalam dialog-dialog atapun khutbah-khutbah, belum paham betul bagaimana realisasi dan konsekwensi dari taqwa itu. Satu kata yang memiliki implikasi ribuan tindakan dalam hidup kita. Satu sikap yang menuntut kita untuk bersungguh-sungguh mencintai dan mentaati Allah dan berhati-hati dalam hidup. Ada yang menafsirkan taqwa itu tersusun dari tiga huruf ta, qof, waw dan ya.
Huruf Ta berarti tawadlu’. Tawadlu adalah kesopanan dan kesantunan kita di hadapan Allah. Sebagai realisasi dan ciri orang yang bertaqwa adalah sikap sopan ketika menghadap Allah dan dalam keseharian hidup. Sholat orang yang bertaqwa penuh kekhusyu’an dan ketenangan. Jauh dari kesan tergesa-gesa atau grusa-grusu. Sadar betul bahwa dia sedang menghadap Raja dari segala raja, al malikul mulk, Allah Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sayangnya karena Allah Yang Ghoib sehingga sedikit yang bisa khusyu ketika sholat. Malah terkesan lebih sopan dan menjaga sikap ketika menghadap atasan atau pejabat daripada ketika menghadap Allah. Bila menghadap bupati atau gubernur, pasti diusahakan penampilan terbaik. Mulai dari pakaian, cara bicara, duduk dan protokolernya, pasti yang terbaik. Bandingkan diri kita saat sholat, pakaian seadanya, sikap seola-olah sedang bicara dengan angin, dan biasanya sangat tergesa.
Huruf qof berarti qonaah. Qonaah adalah menerima apapun pemberian dan karunia yang Allah berikan. Sikap yang lahir sebagai bagian dari tawakkal. Keberhasilan maupun kegagalan, kebahagiaan atau kesedihan, kemenangan atau kekalahan, senantiasa diterima sebagai hal terbaik. Selalu bisa melihat ada manfaat di balik semua bentuk hasil tersebut. Setelah berusaha keras dan maksimal dalam segala hal, maka hasil apapun yang didapat selalu disyukuri dan mampu mengambil pelajaran dari semuanya.
Huruf waw berarti wira’i. Wirai adalah kehati-hatian dalam berpikir, berbicara dan berprilaku. Sikap ini selalu menjadi ciri terdepan orang yang bertakwa baik ketika mengabdi kepada Allah maupun berhubungan dengan sesama manusia. Sangat menghindari tindakan tanpa analisa atau bicara tanpa berpikir. Manusia dengan taqwa dalam dirinya akan selalu mendahulukan pemikiran yang masak dan menjadikan aturan Allah sebagai referensi tiap detil langkah-langkah dalam kehidupannya.
Huruf ya berarti yaqin. Yaqin adalah keteguhan hati terhadap apa yang dipercaya dan menjadi ideologi atau idealismenya. Keyakinan pada Allah menumbuhkan sikap yang konsisten dalam mentaati seluruh aturan syariat Allah. Kokohnya dan berakarnya iman dalam sanubari menjauhkan keragu-raguan dalam beribadah. Rayuan duniawi dalam bentuk apapun takkan mampu menggoyahkan ketulusan dan totalitas hamba muttaqin dalam melayani Allah Sang Robb.
Itulah taqwa. Sikap takut kepada Allah yang lahir dari rasa cinta yang mendalam. Takut yang bukannya lari menjauh tapi justru mendekat. Takut yang bukannya menghindar tapi justru selalu rindu ingin menghadap. Taqwa kepada Allah yang memberikan implikasi nyata pada prilaku dan hubungan yang lebih hati-hati, bijaksana dan penuh kasih pada sesama. Satu sikap transenden vertikal pada Sang Robbi yang berdampak positif pada prilaku horisontal pada sesama insani. Sudah bertakwakah kita? Bismillah.