CNN. Ratapan anak-anak dan perempuan di sebuah rumah sakit Suriah menggema dan saut-menyaut di ruangan. Ahmad Al Mohammad menggeliat kesakitan di samping istrinya usai terjangkit kolera.
“Kami menderita diare, muntah dan sakit, karena kami minum langsung dari Sungai Efrat,” kata Mohammad seperti dikutip AFP.
Nyaris sepekan, Mohammad menyaksikan Rumah Sakit Al-Kasrah banjir pasien. Mereka dilarikan ke rs usai meminum air yang tercemar di Sungai Efrat.
Sungai itu merupakan sumber air utama untuk minum warga dan irigasi, tetapi terkontaminasi.
“Perairan Effrat tercemar, tapi kita tak punya pilihan lain,” ujar Mohammad.
Di rumah sakit Al Kasra, terlihat laki-laki dengan lembut menggendong bayi. Tangan mungil anak itu tampak terpasang selang infus.
Direktur RS Al Kasrah, Tarek Alaeddine, mengatakan fasilitas kesehatan itu menerima lusinan kasus dugaan kolera setiap hari.
“Semua pasien minum air yang dibawa truk yang diambil dari Sungai Efrat, tanpa penyaringan atau sterilisasi,” kata Alaeddine.
Kolera umumnya menular dari makanan atau air yang terkontaminasi. Kemudian menyebar di pemukiman yang tak punya jaringan pembuangan air limbah atau air minum utama.
Sejak awal September, Suriah mencatat 23 kematian dan lebih dari 250 kasus kolera di enam provinsi. Mayoritas kasus berada di provinsi utara Aleppo.
Sementara itu, di wilayah Deir Ezzor mencatat 16 kematian dan 78 kasus.
Pejabat kesehatan di Suriah, Juan Mustafa, mengatakan telah melakukan uji air di Sungai Efrat. Hasilnya ada bakteri yang menyebabkan kolera, wabah ini menyebar karena aliran air berkurang.
Aliran air berkurang karena kekeringan menerjang Suriah, yang ujungnya imbas perubahan iklim.
Berkurangnya aliran ini memperburuk masalah pencemaran sungai yang sudah terkotori oleh limbah.
Meskipun terkontaminasi, lebih dari lima juta warga Suriah bergantung pada Efrat untuk minum dan banyak yang mengandalkan air ini untuk irigasi.
Petani Suriah, Ahmad Suleiman al-Rashid, mengatakan mengairi ladang kapas, bayam dan dari Efrat. Ia sadar risiko tanaman terkontaminasi.
“Tidak ada stasiun penyaringan air, kami minum air yang tidak steril dan tidak mengandung klorin dan mengandalkan Tuhan untuk perlindungan,” katanya.
Setelah perang di Suriah, banyak instalasi pengolahan air rusak, stasiun pompa dan sepertiga menara air juga tak berfungsi.
“Apa lagi yang bisa kita lakukan? Pihak berwenang yang harus disalahkan,” ujar Rashid.
Saat dia berbicara, sebuah truk berkarat memompa air dari sungai Efrat yang hijau dan keruh.
“Kami tahu airnya tercemar tapi kami tetap meminumnya. Kami tidak punya pilihan lain,” ucap Rashid lagi.