CNN. Peneliti spesialis bahan bakar bersih dari Institute for Essential Services Reform (IESR) Julius C. Adiatma mengkritik komitmen pemerintah terkait target emisi 0 pada 2050. Menurutnya, Indonesia belum mempunyai komitmen yang tinggi dalam transisi energi.
“Komitmen kita belum sesuai dengan Paris Agreement kalau kita harus membatasi kenaikan temperatur di bawah 1,5 derajat celsius,” ujarnya dalam konferensi pers, Senin (20/12).
Julius yang juga merupakan penulis utama laporan ‘Indonesia Energy Transition Outlook 2022’ menyebut kritik ia layangkan karena kebijakan yang dilakukan pemerintah selama setahun terakhir belum selaras dengan cita-cita untuk mengejar target itu.
Ia memang mengatakan pemerintah memang telah meluncurkan strategi penurunan emisi pada awal 2021, termasuk mengurangi penggunaan batu bara di sektor ketenagalistrikan.
Meski demikian, Julius khawatir strategi yang dipilih pemerintah masih mengedepankan energi fosil. Sebab, ia melihat strategi yang diputuskan akan mempengaruhi sistem ketenagalistrikan berjalan selama beberapa tahun ke depan serta dana yang harus dikeluarkan.
Selain itu, Julius menuturkan ketergantungan Indonesia terhadap batu bara masih tinggi. hal tersebut bisa dilihat dari produksi batu bara yang kembali meningkat dibandingkan pada 2020.
Ia menyebut produksi batu bara pada 2021 mencapai lebih dari 600 juta ton.
“Padahal kita tahu di rancangan UU Energi Nasional pemerintah menargetkan agar tidak memproduksi batu bara terlalu jor- joran, paling banyak 400 juta ton satu tahun. Tapi kenyataannya sejak itu disahkan 2017 sampai sekarang tidak pernah terjadi produksi batu bara di bawah 400 juta ton,” ungkapnya.
Ia menambahkan kecenderungan produksinya meningkat setiap tahun. Menurutnya hal tersebut juga bertentangan dengan tren global di mana konsumsi batu bara mulai stagnan dan diperkirakan segera menurun dalam waktu dekat.
“Kalau negara ini membuat komitmen yang sesuai dengan Paris Agreement dengan net zero di 2050, 2030 konsumsi batu bara bisa turun 50 persen,” imbuh Julius.
Selain itu, ia juga melihat pemerintah belum rela melepaskan diri dari batu bara. Sebab, meski ada komitmen pengurangan emisi tapi pemerintah masih berusaha membuka demand dari batu bara melalui program hilirisasi.
“Dan menurut analisis kami, itu bukan strategi yang menguntungkan karena secara hitung-hitungan ekonomi harus diakui juga (batu bara) membutuhkan subsidi yang lebih besar,” kata Julius.
Lebih lanjut, Julius mengatakan dari segi investasi, sepanjang beberapa tahun terakhir termasuk 2021, investasi terhadap pembangkit energi terbarukan masih di bawah US$2 miliar. Menurutnya angka tersebut masih jauh dibandingkan investasi pada pembangkit energi fosil.
Sementara, berdasarkan pemodelan yang ia buat, jika ingin mencapai emisi 0 pada 2050, kebutuhan investasi di energi terbarukan sekitar US$20 miliar per tahun.