VOA — Pasar sawit dunia meningkatkan standar, agar komoditas ini diproduksi secara berkelanjutan. Sektor ketenagakerjaan menjadi faktor, dengan pekerja anak dan perempuan sebagai salah satu isu penting.
Pemerintah tentu memahami perubahan standar industri sebagai dampak kampanye sawit berkelanjutan di luar negeri. Salah satunya dengan mendorong industri sawit agar memperhatikan kesejahteraan pekerjanya. Skema BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan dinilai tepat menjadi jaminan.
Namun, menurut Indah Anggoro Putri, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Kementerian Ketenagakerjaan, sektor sawit juga harus berupaya menghapus pekerja anak, terutama di perkebunan.
“Nyata-nyata, child labour telah dilarang dalam UU Ketenagakerjaan. Pemerintah melalui UU 20/1999 telah meratifikasi Konvensi ILO nomor 138 tahun 1973, mengenai batas usia minimum yang diperbolehkan untuk bekerja,” kata Indah, dalam diskusi terkait ketenagakerjaan sektor sawit, yang diselenggarakan lembaga riset ekonomi Indef, Kamis (25/11).
Selain memberikan perlindungan melalui BPJS, kata Indah, industri sawit juga harus konsen dalam pencegahan pelecehan seksual dan kekerasan seksual di tempat kerja.
Menurut data Kementerian Pertanian, Indonesia memiliki 2,6 juta petani sawit. Sementara industri pengolahan sawit mempekerjakan sekurangnya 4,2 juta orang. Menurut data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), jumlah anak yang bekerja pada tahun 2020 mencapai 2,1 juta anak. Angka itu naik dibanding data 2019 yang tercatat 1,6 juta anak, dengan 42 persen ada di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan. Kenaikan ini diduga karena faktor pandemi COVID-19.
Tidak diketahui dengan pasti jumlah anak yang bekerja di sektor industri sawit, tetapi sejumlah pihak menilai angkanya cukup mengkhawatirkan. Fenomena ini terutama didorong oleh keikutsertaan anak dalam aktivitas orang tuanya bekerja di kebun sawit.
Indah menambahkan, hubungan kerja buruh sektor perkebunan sawit sebagian besar adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), khususnya dengan skema pekerja harian. Data Sawit Watch menyebut, sekitar 70 persen pekerja sektor perkebunan sawit merupakan pekerja harian.
Sistem pekerja harian ini menjadi salah satu tantangan industri sawit, karena produknya harus diterima pasar internasional dengan mudah. Padahal, isu ketenagakerjaan menjadi salah satu perhatian utama negara-negara konsumen produk sawit. Selain itu, lanjut Indah, yang juga menjadi perhatian adalah praktik upah murah yang terus diterapkan.
“Upah kerja lembur yang tidak dibayar, yang ini semua bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan dan PP 36/2021 sebagai turunan dan amanat UU Cipta Kerja,” lanjut Indah.
Isu lain yang masih menjadi pekerjaan rumah, adalah kesehatan dan keselamatan kerja terkait pemakaian pestisida, pelaksanaan program jaminan sosial bagi buruh, jaminan kebebasan berserikat dan mengemukakan pendapat bagi buruh.