Oleh : Glory Islamic
Di hadapan Nabi, seorang Arab dusun berkata: “Kami telah beriman”. Sejenak Nabi diam menunggu wahyu. Allahpun berfirman: “Sampaikan bahwa mereka belum beriman. Mereka baru tunduk. Karena iman belum masuk ke hati mereka”. Arab Badui itupun bertanya-tanya dalam hati apa yang membuatnya belum mencapai level iman. Mungkin kitapun akan bertanya serupa, apa kira-kira tanda masuknya iman ke hati dan ada berapa levelkah iman itu?
Pembaca Lentera yang setia, dalam keseharian dan kekinian penulis juga sering mendengar pernyataan penuh yakin tentang keimanan dari mulut orang. Seperti halnya Arab dusun itu, kitapun kerap dengan pede merasa telah beriman. Sebuah perasaan yang bisa jadi hanya berlandaskan asumsi dan pengetahuan ala kadarnya tentang kriteria iman. Tapi benarkah kita sudah beriman? Kalaupun sudah, di level manakah iman kita?
Kali ini penulis mengajak pembaca untuk belajar tentang level atau kasta dalam terminologi iman. Mari kita menjadikan beberapa gambaran kasta iman berikut sebagai alat untuk mengukur kadar keimanan kita. Pentingnya menggunakan alat ini adalah untuk menentukan ke-sahih-an klaim keimanan berdasarkan standar yang benar, standar Tuhan. Juga untuk menghindari pengakuan keimanan yang hanya berdasar perasaan dan dugaan.
Ada tiga orang yang terkait dengan sebuah wahana rollcoaster. Si Udin naik rollcoaster, si Modin menyaksikannya. Sepulang dari wahana tersebut si Modin bercerita kepada si Sami’an.
Pertama, iman yaqin. Berkaca dari contoh tersebut, Sami’an mendengar dari si Modin bagaimana hebatnya rollcoaster. Terkagum-kagum pula dia mendengar pengamatan Modin tentang apa yang dirasakan oleh Udin. Cara Modin bercerita yang expresif membuat Sami’an percaya betul apa yang didengarnya. Sami’an adalah contoh iman tahap yaqin.
Iman yaqin adalah iman tahap yang sangat awal. Sebuah tahap yang masih sumir karena hanya berdasarkan mendengar. Hati yang masih berada antara percaya dan tidak. Percaya ada surga neraka karena sejak kecil mendengar para ustadz menceritakannya. Tapi kurang tertarik pada iming-iming surga dan tidak terlalu takut pada ancaman neraka. Semuanya masih terdengar seperti dongeng. Beragama Islampun karena orangtuanya mengatakan bahwa agamanya Islam. Bertuhan Allahpun karena di surau diajarkan demikian.
Kedua, iman ainul yaqin. Modin berkesempatan melihat bagaimana Udin naik rollcoaster. Dia paham bagaimana wajah dan gerak tubuh Udin saat rollcoaster meliuk-liuk naik turun. Dia juga bisa membayangkan apa yang dirasakan oleh si Udin. Meski dia tidak mendengar langsung dari Udin, tapi dia bisa membuat cerita yang sangat menarik dan meyakinkan. Bagaimanapun Modin mampu bercerita, semuanya masih sebatas “membayangkan” apa yang dirasakan Udin. Karena Modin tidak benar-benar naik rollcoaster.
Iman ainul yaqin adalah iman tahap selanjutnya. Di sekitar kita ada sebagian orang yang sangat pandai menceritakan apa dan bagaimana rasanya iman itu. Mereka sangat piawai dan fasih menggambarkan bagaimana prilaku para nabi-rasul, sahabat, mujahid dan teladan terdahulu yang mencerminkan tingkat keimanan. Saking pandainya bercerita, seolah-olah mereka ini memiliki prilaku yang mencerminkan keimanan itu. Padahal semuanya hanya karena kemampuan mereka membaca dan memahami isi kitab. Prilaku mereka masih jauh dari ciri hamba yang memiliki iman para teladan tersebut. Mereka adalah para modin.
Ketiga adalah iman haqqul yaqin. Sebagai orang yang benar-benar naik rollcoaster, udin merasakan betul bagaimana rasanya meliuk-liuk dalam wahan tersebut. Tahu betul menderitanya perut diaduk-aduk sampai hampir muntah. Paham benar nikmatnya adrenalin dipacu sampai batas yang membuat ketagihan. Udin mungkin tidak sepandai Modin dalam bercerita, tapi dialah yang tahu secara haqqul yaqin apa dan bagaimana rollcoaster itu.
Para mu’min sejati adalah mereka yang benar-benar merasakan pedihnya penderitaan ujian keimanan. Sahabat Bilal tahu betul bagaimana beratnya mempertahankan iman kepada tauhid Allah. Sahabat Ali yang menikmati betul pertemuan, dialog dan bercengkerama dengan Allah dalam khusyu’nya sholat. Para mujahid yang percaya betul janji akhirat sehingga rela mengorbankan jiwa, raga dan harta demi ridlo ilahi di akhirat nanti. Mereka inilah para “udin”,
Mereka tahu apa itu iman bukan dari membaca kitab atau sekedar mendengar ustad. Para udin inilah seseorang yang secara haqqul yaqin merasakan buah iman. Di kasta merekalah ciri iman tervisualisasikan dalam perbuatan. Bisa jadi mereka ini adalah pribadi-pribadi sederhana yang bahkan diremehkan. Tapi lewat beningnya hati dan sinar iman merekalah, kita bisa berkaca di kasta manakah level keimanan kita. Bismillah.