BBC – Dengan menggunakan pakaian antiradiasi serbaputih, bermasker, bersarung tangan, dan bersepatu bot, sebanyak tujuh relawan Brigade Evakuasi Popok (BEP), terlihat sibuk menyusuri Sungai Brantas di Jawa Timur.
Berbekal garu, jaring, tongkat pengait, dan tempat sampah, BEP yang merupakan tim bentukan Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton Surabaya) ini memungut sampah popok bayi yang tersangkut di sekitar tepi Sungai Brantas, termasuk juga yang mengambang di badan sungainya.
Aziz, Koordinator Aksi BEP, menuturkan, aksi ini mulai dijalankan sejak Juli lalu sebagai bentuk keprihatinan tercemarnya sungai-sungai di Jawa Timur oleh limbah popok bayi.
“Popok bayi persentasenya 37% dari keseluruhan sampah yang mencemari sungai. Sudah di tujuh kota-kabupaten yang kita sisir. Ada Mojokerto, Gresik, Surabaya terutama yang bagian hilir. Bagian hulu ada Batu, Kota Malang. Kemudian di tengah ada Jombang, selanjutnya Sidoarjo,” papar Aziz kepada wartawan di Surabaya, Rony Fauzan.
Aziz menekankan bahwa kegiatan mereka tidak berhenti hanya saat evakuasi sampah popok bayi.
Pihaknya juga menyampaikan temuan sampah tersebut kepada Dinas Lingkungan Hidup di masing-masing daerah yang disinggahi.
“Sampai sekarang, apabila dua minggu setelah daerah yang kita datangi itu belum merespons tindakan kita, kami aksi di sana. Kami aksi dengan teatrikal, dengan atribut yang lebih besar lagi,” tandas Aziz.
Tiga juta popok bayi
Mengapa popok bayi menjadi fokus Aziz dan kawan-kawannya?
Prigi Arisandi, selaku direktur Ecoton Surabaya, yang juga pemrakarsa BEP, memaparkan temuannya.
Selama aksi mereka berlangsung, Ecoton memperkirakan masyarakat di Daerah Aliran Sungai (DAS Brantas) menggunakan tiga juta popok bayi per hari, dan sebagian besar sampah popok tersebut berpotensi dibuang ke sungai.
“Kalau kita melihat data BPS tahun 2013, ada kurang-lebih 750 ribu bayi yang tinggal di 15 kabupaten-kota yang dilewati Brantas. Dari survey kami, satu orang bayi itu menggunakan minimal empat sampai sembilan popok per hari. Jadi kalau kemudian ada 750 ribu bayi, maka ada sekitar tiga juta popok dipakai masyarakat, berpotensi dibuang ke sungai,” jelas Prigi.
Menurutnya, salah satu pemicu perilaku membuang popok bayi ke sungai adalah mitos yang berkembang di masyarakat.
Membuang popok bekas yang berujung pada tindakan pembakaran dipercaya akan mengakibatkan kulit di pangkal paha dan pantat bayi menjadi merah seperti luka terbakar, atau populer disebut Suleten.
“Ada keyakinan atau kepercayaan masyarakat, kalau memusnahkan popok bekas dengan cara dibakar akan menjadikan anak sakit. Maka kemudian cara yang paling aman, yaitu dibuang ke sungai,” ungkap lelaki berkacamata ini.
Mitos soal popok ini diakui oleh Agustin, salah seorang warga Kabupaten Sidoarjo, yang tinggal di bantaran kali.
“Bukan mitos itu kalau menurut saya. Saya percaya, kalau membuang popok bekas anak saya, atau bekas yang dipakai oleh anak bayi, itu ya jadi Suleten gitu. Di pantatnya bayi itu, sampai merah-merah. Mau dibuang ke mana kalau nggak di sungai?” cetusnya.