Oleh : Glory Islamic

“Indonesia memilih…!”, suara di televisi itu sedikit mengganggu waktu saya menunggu pesawat di ruang tunggu. Suara MC yang sedang mengumumkan hasil polling sms pada ajang pemilihan penyanyi itu mengusik kesadaran. Pikir saya, berani sekali dia bilang “Indonesia” sementara polling itu hanya melibatkan ribuan orang. Jangankan mewakili Indonesia, mewakili saya pribadipun tidak pantas. Saya ini orang Indonesia asli, tidak pernah memilih apapun dalam kontes-kontes semacam itu.

Akhir-akhir ini kita sering “dipaksa” memberikan keterwakilan kita sebagai bangsa, sebagai masyarakat dan sebagai pribadi kepada hal-hal yang samasekali kita tidak ketahui utuh tentang hal tersebut. Media dan para perancang budaya bekerjasama untuk mencekoki kita dengan berbagai macam indikator baik dan buruk. Juga menyuguhkan bentuk-bentuk idola dengan kriteria yang dipaksakan. Semua dikemas dalam gemerlap acara showbiz atau gencarnya pemberitaan dan komentar pengamat dadakan.

Antrian para pengantre tiket itu begitu mengular. Sebuah band dari luar negeri akan memamerkan budaya dan suara mereka. Remaja-remaja putri itu rela menunggu berjam-jam untuk mendapatkan tiket. Bahkan ada yang sampai menginap demi melihat wajah sang idola pujaan hati. Berkeringat, berdesakan, berteriak, menangis dan banyak pula yang pingsan. Uang hasil keringat orangtuapun dihamburkan untuk “biaya kekaguman” pada sang idola.

Idola adalah sosok yang dikagumi karena sebagian atau keseluruhan kelebihan yang dimilikinya. Dulu, idola dipahami sebagai sosok yang nyaris sempurna kelebihannya, utuh dan lengkap. Karena itu selain dikagumi, idola juga layak diikuti kepribadian dan prilakunya. Sekarang, seseorang cukup memiliki satu sisi kelebihan sudah bisa diidolakan orang, apalagi kalau media yang memolesnya. Seorang yang punya kelebihan di bidang tarik suara dan tari, sudah akan sangat didolakan meski prilakunya dipertanyakan. Bila sang idola berpendapat dan berprilaku yang bertentangan dengan adat istiadat kita dan norma agama, sang pengagum akan cuek dan tetap membelanya.

Bagi yang tidak mengidolakan artis, segmen pemuda yang lain mengidolakan para tokoh politik yang nyentrik dan biasanya kekiri-kirian. Mereka yang berjiwa pemberontak, pembebas pikiran dan anti kemapanan diidolakan sebagai “nabi” bagi pandangan politiknya. Foto-fotonya menghiasi kaos yang dipakai, sticker yang ditempel dan poster di kamar-kamarnya. Tidak peduli bagaimana sesungguhnya prilaku sang idola, bahkan jika sang idola mati karena bunuh diri atau narkoba, tetap saja dipuja.

Dulur, idola seharusnya dipahami sebagai sosok yang utuh, kekurangan dan kelebihannya. Idola juga selayaknya dimaknai bukan hanya sebatas kekaguman tapi juga bentuk keterwakilan pandangan kita akan sesuatu. Mengidolakan seseorang adalah mengikuti bentuk kongkrit pikiran, ucapan dan prilaku seseorang yang kita yakini benar dan baik. Seorang idola telah memiliki dan menjalani apa yang menurut kita luar biasa baik, namun belum kita miliki atau jalani. Mereka adalah panutan dan model.

Karena berkaitan dengan prilaku dan lifestyle, maka status idola semestinya kita sematkan pada pribadi-pribadi yang mumpuni. Teruji secara sahih konsistensinya dalam menjalani nilai-nilai kebenaran. Mereka yang telah membuktikan kapasitasnya sebagai pribadi yang benar dan bermanfaat untuk pribadi, keluarga dan bangsanya. Ketulusan ibu bapak kita, kepahlawanan para pejuang, kesucian para Nabi Rasul adalah mereka yang tanpa ragu kita bisa idolakan.

Ya, orang tua kita yang baik lebih layak kita idolakan daripada para selebriti yang tidak memberi manfaat apapun pada kita. Setidaknya orangtua telah merawat dan membesarkan kita dengan penuh kasih sayang. Dan itu memberi kita model bagaimana nanti kita merawat, mendidik dan membesarkan anak-anak kita. Apalagi para Nabi Rasul yang jelas-jelas hadir di muka bumi untuk menunjukkan kita arah hidup dan menyuguhkan keteladan yang sungguh-sungguh terbukti benar dan baik.

Daniel Kruger, seorang psikolog evolusioner dari Universitas Michigan menyatakan bahwa remaja sekarang cenderung mempelajari dan mengikuti prilaku para idolanya. Bahkan James Houran menyatakan bahwa selebritis sudah seperti obat-obat terlarang (bahaya kecanduannya). Kedua pendapat tersebut memang terbukti sekarang. Bahayanya adalah, tidak sedikit sang idola mempraktikkan gaya hidup yang jauh dari norma masyarakat maupun agama.

Untuk kita yang percaya akan akhirat, hal tersebut lebih bahaya lagi. Karena Rasulullah bersabda, yujma’ul mar’u ma’a man ahabba/seseorang itu nanti di akhirat akan dikumpulkan bersama dengan orang yang dicintai atau didolakan. Artinya, untuk mereka yang mencintai, mengidolakan dan mengikuti gaya hidup para artis itu, di akhirat akan bersama mereka. Mereka yang menyanjung, mengekor dan membela pikiran tokoh yang notabene bertentangan dengan norma Tuhan, mereka akan menghadap Tuhan nanti dalam rombongan tokoh tersebut.

Dulurku pembaca Lentera yang budiman, apa yang kita tanam hari ini akan kita petik esok di akhirat. Siapa yang kita ikuti dan idolakan saat ini, dalam kelompoknyalah kita nanti akan bersama-sama di akhirat. Pandai-pandailah dalam memilah dan memilih. Hindari kekaguman instan pada sosok hasil polesan kontes dan gencarnya pemberitaan media. Orangtua kita yang baik, para pejuang yang syahid dan Nabi Rasul kita, kepada merekalah kita layak bersimpuh dan berteguh hati “Kami memilih, Indonesia memilih…!” sebagai idola. Bismillah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *