Oleh: Arbitrator Muchtar

Matematika (mendekati) paradox dengan cinta.

Matematika dan cinta sulit jalan bersama jika tidak sepakat dibilang selalu bersebrangan.

Cinta tidak bisa diukur, dari segi apapun. Pengorbanan, perjuangan , sampai penderitaan dan kebahagiaan yang disebabkan oleh cinta, tidak bisa diangkakan.

Tidak dengan matematika, matematika selalu berbicara dengan angka, bisa diprediksi, karena jawabannya angka.

Matematika bagian kecil dari cinta, jangan mematematikakan cinta. Artinya jangan mengukur cinta dengan angka, nominal dan jumlah, karena cinta tidak bisa diukur.

Pemberian orang tua kepada anak didasari cinta, sebaliknya cinta anak kepada orang tua ukurannya seringkali sebatas matematika.

Matematika orang tua. Matematika anak.

Memang orang tua ada yang tega menelantarkan anaknya, tapi tidak banyak.

Anak yang menelantarkan ibu bapaknya juga ada, bahkan lebih banyak, dimungkinkan presentasinya 90%.

Sebaliknya,anak yang memuliakan ibu bapaknya juga ada, hal yang menjadi impian semua orang tua di dunia.

Mari kita coba analisis secara kasar dengan pisau analisis “matematika cinta” untuk memastikan kebenaran presentase diatas.

Jumlah waktu, ,materi dan presentasi perhatian dan kasih sayang yang diberikan orang tua kepada anak.

Sedari lahir saya dan sampean dijaga 24 jam x 30 hari x 6 bulan sama dengan 4320 jam, beliau ibu menjadi “security” tanpa gaji. Bahkan bahasa kasarnya kita “memakan” raga beliau melalui ASI.

Setelah 6 bulan ibu dibantu makanan tambahan sampai 2 tahun. 24 bulan kita “hidup” dari ibu. Semenrata sang ayah bekerja dengan jerih payah tenaga dan upaya memastikan sang buah hati mendapat asupan energy jasmani.

Sehat dan sesekali senyum kita adalah upah yang dinanti dari keduanya, hanya itu.

Sampai usia berapa saya dan sampean dimandikan ibu bapak, 5 tahun atau 7 tahun?… anggap saja 5 tahun.

(5 tahun) 1.800 x 2 x sehari sama dengan 3.600 x kita dimandikan. Belum dihitung berapa kali kita minta cebok pipis dan BAB?

Sekarang jumlahkan. Berapa kali kita memandikan orang tua kita?

Berapa kali kita menceboki orang tua kita?

Berapa lama tahun, berapa bulan, berapa jam kita kita ada dan hadir menunggu beliau berdua?

Kadang ketika bapak ibu sakit hitungan hari, bulan, kita  menunggui sudah merasa capek, merasa sudah, merasa berbakti, merasa banyak berkorban untuk beliau berdua.

Renungkan, pikirkan, hitunglah bray, bro, cak, mas, mbak, dik, nak….. bisa hitung-hitungankan?

Jumlahkan, matematikakan cintamu dan cinta beliau berdua, hitung jam, bulan, dan tahun beliau dan jam kita?

Aku yakin dan seyakin-yakinnya, beliau tidak mengharapkan itu. Beliau tidak akan menuntut matematikamu, tetapi tidak baik untuk mengukur sekaligus mengetahui sejatinya jumlah cinta kita baru seupil dari matematika orang tua kita.

Lagi, coba kalkulasi materi berupa barang dan uang yang orang tua berikan kepada kita, meski tidak sama, antara satu anak dengan anak yang lain, mengingat tidak semua  orang tua memiliki rezeki cukup, tapi perlu diingat bahwa beliau berdua mencukupi semua kebutuhan kita dengan  dasar cinta.

Sebaliknya ketika kita mencukupi atau memberi apa yang dibutuhkan beliau berdua, dasarnya matematika, ada jumlah yang mendasarinya, ujungnya, aku sudah pernah, ngasih sekali, sekian, yang itu tidak pernah ada dikamus dibeliau berdua.

Beliau ada istilah sungkan dan tidak ingin merepotkan, ndak enak jika mengeluh, sambat, atau sekedar menyampaikan kebutuhan , beliau malu, tapi tidak dengan anak.

Berbeda dengan kita sebagai anak, meski kita sudah berkeluarga, dan memiliki putra, masih sering memohon pertolongan dan mengeluh bantuan kepada bapak ibu kita.

Dan hebatnya beliau berdua tidak akan bilang, “sudah, sudah cukup, atau tidak bisa membantu, aku sudah pernah merawatmu”…never

Kesimpulan dari analisis singkat saya, yang bisa diluruskan jika kurang sesuai dengan kenyataan adalah:

“pengorbanan, pelayanan, kasih sayang berdasarkan cinta.”

“pengorbanan, pelayanan, kasih sayang anak seringkali berdasarkan matematika.”

Agar kesimpulannya diatas tidak terjadi. Resepnya adalah “mengenal Allah secara mendekat dan mendasar”

Menurut Bapak Guru Muchtar: “jika seseorang sudah kenal dekat kepada Allah maka akan tertular sifat cinta kasih Alalh. Jangankan kepada orang tua, kepada orang lain saja cinta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *