Portal Langit – Harga minyak mentah dunia belakangan ini terus melonjak akibat efek invasi Rusia ke Ukraina dan naiknya permintaan seiring dengan pemulihan ekonomi global. Di tengah situasi ini, keputusan pemerintah dan Pertamina menahan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dinilai sangat positif.

Sebelumnya, Deputi III Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Montty Girianna dalam diskusi virtual menegaskan bahwa harga Pertalite dalam 5-6 bulan ke depan tidak akan naik. Keputusan itu diambil kendati harga jual Pertalite saat ini lebih rendah dibandingkan harga keekonomiannya.

“Kebijakan menahan harga jual Pertalite ini merupakan bentuk kepedulian pemerintah dan Pertamina dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang masih tertekan akibat kenaikan harga-harga dan kelangkaan beberapa komoditas kebutuhan pokok,” ungkap Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, Senin (7/2/2022).

Pergerakan harga minyak dunia sejatinya menempatkan harga keekonomian Pertalite di atas Rp10.000 per liter. Namun, Pertamina hingga kini masih menjual Pertalite dan Pertamax masing-masing di harga Rp7.650 per liter dan Rp9.000 per liter. Pertalite dan Pertamax saat ini merupakan BBM yang paling banyak dikonsumsi secara nasional.

Perusahaan energi pelat merah itu pada awal Maret tercatat hanya menaikkan harga BBM jenis Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex, mengikuti naiknya harga minyak mentah dunia. Menurut Komaidi, dinaikkannya harga BBM secara selektif itu merupakan keputusan tepat dan cermat untuk mengurangi beban APBN, tanpa memicu inflasi dan memperburuk daya beli rakyat.

Lebih lanjut, Komaidi mengatakan bahwa saat ini sulit memprediksikan puncak harga minyak dunia. Pasalnya, faktor pendorong kenaikan harga minyak saat ini lebih pada psikologis.

“Dasar pengambilan keputusan bukan pada ukuran fundamental ekonomi tetapi lebih pada faktor kepanikan jika dalam konteks perang,” ujarnya. Doktor ekonomi lulusan Universitas Trisakti itu menambahkan jika kepanikan terus meluas dan masif, harga minyak akan dengan mudah melampaui level USD120 per barel.

Bahkan, katanya, ada potensi harga komoditas ini menyentuh angka USD150 per barel. Sementara, kata dia, Indonesia sebagai pricetaker tidak memiliki kemampuan untuk mengintervensi harga minyak sehingga berapa pun angka yang terbentuk harus tetap diambil.

Menurut dia, dalam hal ini tentu ada risiko fiskal dan moneter terkait dengan harga jual BBM yang akan menyertai fenomena tersebut “Dalam jangka pendek Indonesia relatif tidak memiliki pilihan,” tandasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *