CNN. Batu bara dan listrik seperti dua sisi mata uang. Tanpa batu bara, pembangkit listrik PT PLN (Persero) tak berdaya. Tak heran, ketika BUMN listrik itu ‘teriak’ kekurangan pasokan batu bara pada akhir tahun lalu, ancamannya tak main-main. Yaitu, pemadaman listrik 10 juta pelanggan.

Risiko ini yang kemudian dicegah pemerintah dengan menerbitkan larangan ekspor batu bara pada 1-31 Januari 2021. Larangan itu tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 139.K/HK/03/MEM/B/2021 mengenai Pemenuhan Kebutuhan Batu Bara di Dalam Negeri alias DMO (domestic market obligation).

Iya, Indonesia dilarang mengekspor batu bara. Aturan ini berlaku baik bagi pengusaha pertambangan yang mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) maupun Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Sontak, negara-negara pengimpor batu bara RI protes. Sebut saja, Jepang, Korea Selatan, dan yang terbaru Filipina. Mereka melayangkan surat keluhan ke pemerintah.

Duta Besar Jepang untuk Indonesia Kanasugi Kenji secara resmi melayangkan surat kepada Menteri ESDM Arifin Tasrif. Kenji mengaku kebijakan tersebut mengganggu aktivitas ekonomi Jepang yang mengandalkan 2 juta ton batu bara setiap bulannya dari Indonesia.

Menteri Perdagangan, Industri, dan Energi Korea Selatan Yeo Han Koo bahkan mengadakan pertemuan darurat secara virtual dengan Menteri Perdagangan Indonesia Muhammad Lutfi.

Tak berselang lama, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menkomarves) Luhut Binsar Panjaitan membuka kembali keran ekspor batu bara. Ekspor akan dilakukan bertahap mulai hari ini, Rabu (12/1).

“Kemudian nanti kapan mau dibuka ekspor? Bertahap dimulai Rabu,” kata Luhut ditemui di Kantor Kemenkomarves, Senin (10/1).

Ia berdalih pasokan cadangan batu bara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan PLN dalam 15 hingga 25 hari ke depan.

Namun, Luhut mengancam akan tetap menerapkan sanksi kepada perusahaan batu bara yang tidak memenuhi kewajiban DMO batu bara.

“Masih ada (sanksi). Kami mau lihat. Jadi, kemarin yang punya utang (denda) ke PLN kami akan periksa. (Perusahaan) ini kami hukum kalau perusahaan gede-gede tidak melakukan kewajiban,” tegasnya.

Hal ini dinilai sejalan dengan sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengancam mencabut izin usaha bagi perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban dalam negerinya.

“Perusahaan yang tidak bisa melaksanakan kewajibannya bisa dikenakan sanksi, bila perlu tidak hanya tak dapat izin ekspor, tapi cabut izin usahanya,” tutur Jokowi, Senin (3/1).

Sebetulnya, Direktur Eksekutif Indonesia Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan karut marut pasokan batu bara dan ketersediaan listrik disebabkan oleh lemahnya kebijakan batu bara di dalam negeri.

“Yang jadi masalah kan kenapa membuat kebijakannya tidak melihat secara komprehensif. Kalau memang perlu memasok kebutuhan batu bara untuk PLN, apa perlu sampai buat larangan ekspor? Ya mungkin tidak perlu,” kata Marwan kepada CNNIndonesia.com, Selasa (11/1).

Menurut dia, pemerintah sebagai regulator tidak peduli dengan nasib PLN yang harus menjamin ketersediaan batu bara. Pemerintah, ia menilai justru pro terhadap pengusaha batu bara.

“Jadi lah PLN tertuduh. Katanya tidak mengatur stok (batu bara), sehingga direktur energi primer dipecat. Seolah-olah itu salah mereka, padahal yang salah itu regulator dan pengusaha,” ujarnya.

Ia menegaskan seharusnya, pemerintah sebagai regulator membuat aturan yang lebih jelas dan detail guna menjaga ketersediaan pasokan batu bara. Ditambah dengan regulasi yang mengatur pengusaha batu bara agar tunduk untuk memenuhi kewajibannya.

“Seandainya ada 600 perusahaan, kan bisa dipilih yang pasok (ke PLN) ya cuma 20 atau 30. Sisanya kan bisa dibayar oleh yang tidak memasok ke yang memasok, kalau perlu ada extra cost berapa persen. Ini kan bisa dan tidak perlu kecanggihan berfikir dan formula, kita orang awam juga tahu,” ungkap Marwan.

Kemudian, ia mendesak pemerintah secara tegas menindak dan menjatuhkan sanksi bagi perusahaan batu bara yang tidak memenuhi kewajiban DMO batu bara. Toh, keuntungan yang diperoleh perusahaan tambang berasal dari kekayaan negara, yang seharusnya diperuntukkan untuk masyarakat secara luas.

“Paling penting pasokan terpenuhi, kalau ada perusahaan yang melanggar bayar kompensasi kepada negara. Bentuknya denda saja,” imbuh dia.

Ia pun menyoroti ancaman yang dilontarkan Presiden Jokowi yang akan mencabut izin usaha tambang bagi perusahaan yang tidak dapat memenuhi DMO. Sayang, ia pesimistis ancaman tersebut hanya retorika kepala negara belaka.

“Ya silahkan saja, tapi yang dicabut itu kan izin perusahaan yang belum berproduksi, bukan yang melanggar aturan DMO. Jadi, khawatir retorika saja. Bagi kita sebetulnya, toh negara kan sedang butuh devisa juga, butuh juga PLN pasokan batu bara, jadi tinggal kenakan sanksi saja,” katanya.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa malah menyiratkan kelucuan dari kebijakan pemerintah yang dengan gampang mengganti kebijakan ekspor batu bara kurang dari 14 hari.

Ia menilai setidaknya ada dua alasan, larangan ekspor batu bara dicabut. Pertama, sebagian batu bara yang diekspor dengan tingkat kalori yang tinggi memang tidak diperlukan di Tanah Air. Pantas saja, apabila ekspor batu bara tidak perlu untuk dilakukan.

“Setiap bulan ekspor kira-kira 30 juta-40 juta ton, tidak seluruhnya sesuai dengan kebutuhan PLN dan IPP yang kalori batu baranya 4.200-5.300. Sementara, di dalam produksi ada juga batu bara yang di atas 5.300 yang diekspor ke Jepang dan Korea. Kalau gak salah 30 persen yang menengah tinggi, batu bara itu gak dibutuhkan. Memang, menurut saya gak perlu dilarang,” jelasnya.

Karenanya, ia maklum terhadap protes sejumlah negara importir. Apalagi, kebijakan dibuat secara mendadak dan tidak disosialisasikan dengan baik.

Kedua, sambung Fabby, apabila kebutuhan batu bara PLN yang diperkirakan mencapai 10 juta ton per bulan telah terpenuhi, maka memang nampaknya tidak perlu melarang ekspor batu bara.

“Sampai Senin kemarin katakan sudah ada komitmen 13,5 juta ton. Sebenarnya, secara rata-rata kebutuhannya mencapai 10 juta ton. Jadi ketika ada 13,5 juta ton untuk 15-20 hari ke depan, PLN aman,” ucapnya.

Di lain sisi, Fabby mempertanyakan sikap Luhut yang justru ingin membubarkan PT PLN Batubara. Memang, kontribusi anak usaha PLN sangat kecil dibanding pasokan yang dibutuhkan PLN. Tetapi PLN Batubara berperan memasok kebutuhan PLTU di Indonesia Timur.

“PLN Batubara hanya memasok 2,5 juta ke PLN. Bandingkan dengan kebutuhan batu bara PLN per tahun yang mencapai 119 juta ton, kecil sekali,” katanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *