Oleh : Glory Islamic

Sejak awal keberadaannya di bumi dunia ini, mestinya manusia menyadari sepenuhnya bahwa mereka ini atas undangan Yang Maha Kuasa, bukan atas kemauan sendiri. Selaku orang undangan maka segala aktifitas di tempat undangan adalah mengikuti prosesi   yang telah ditetapkan oleh pengundang. Mulai awal disambut di tempat undangan sampai nanti acara selesai, sudah ada rencana prosesi yang semestinya diikuti. Keberadaan undanngan adalah tamu.

Demikian halnya posisi kita di bumi ini adalah tamui undangan Yang Maha Kuasa. Allah sudah mempunyai rencana prosesi yang matang. Sudah ada tata nilai, tata urutan aturan yang harus diikuti oleh manusia. Aturan mana yang merupakan pakem dan garis-garis besar haluan hidup manusia sebagai undangan dibumi ini. Aturan yang dibuat untuk memastikan bahwa agenda ke-khalifahan manusia di bumi ini berjalan dengan sukses.

Sayangnya, manusia sebagai undangan yang harusnya mengikuti pakem yang telah ada, malah membuat rencana, pakem dan keputusan sendiri-sendiri yang melenceng dari pakem Allah tersebut. Pola pikir, planning dan segala aktifitas mereka mengindikasikan seolah-olah tidak punya urusan dengan Alloh. Sejauh mana mereka mengenal Allah, porsi pemikiran mereka untuk akhirat. Rencana dan aturan yang telah ditetapkan Alloh tidak mendapatkan alokasi dalam rencana dan aktifitas sehari-hari.

Parahnya lagi, rencanadan aturan Allah yang seharusnya menjadi main progam dan main proyek dalam kehidupan, tapi justru dirasakan sebagai hal-hal yang menghambat, menghalangi dan menyulitkan rencana dan aktifitas manusia. Kita seolah-olah lupa dan tidak mempunyai urusan (perjanjian) sama sekali dengan Alloh. Ini yang sekarang melanda praktek kehidupan ummat manusia. Inilah yang menyebabkan hancurnya nilai moral dan sosial, rusaknya alam dan lingkungan. Karena gerbong kehidupan ini tidak lagi berjalan di atas rel yang ditentukan oleh Yang Memiliki Hidup.

Siklus rotasi maupun revolusi peredaran tata surya dan galaksi-galaksi pada kosmos semesta ini, semuanya berjalan patuh menurut garis edar yang ditentukan Sang Pencipta Alloh SWT. Sehingga meski aktifitas itu telah berjalan bilyunan tahun,  tidak (belum) terjadi kerusakan yang berarti. Entah apa jadinya bila satu atau dua planet atau bintang berjalan sendiri dan keluar dari garis edarnya. Hampir pasti akan terjadi kerusakan sistem edar secara berantai, benturan dan bencana semesta.

Agama, apapun namanya, ajarannya memuat ribuan hal-hal yang harus dikerjakan, yang sebaiknya dikerjakan, yang tidak boleh dikerjakan, yang sebaiknya ditinggalkan dan yang terserah manusia. Bahwa agama mampu memberikan jawaban terhadap semua problematika kehidupan manusia, meski dalam hal-hal spesifik perlu pengejawantahan lebih lanjut. Sedemikian banyak jumlah perintah dan larangan yang menjadi substansi dari sebuah agama, sehingga seringkali menyebabkan ummat pengikut agama itu sendiri lupa dengan sendi-sendi perintah dan larangan tersebut, yang pada gilirannya lalai untuk mengamalkannya.

Agama, secara hakiki tidak pernah mengalami kerusakan. Namun yang mengalami kerusakan adalah subyek pengamal agama, yakni manusianya. Kemudian secara berantai kerusakan mental manusia itu berimbas pada pelaksanaan ibadah ummat manusia yang disesuaikan dengan kehendak nafsunya. Agama  atau aturan Tuhan diharuskan tunduk atau dimodifikasi sedemikian agar sesuai dengan kemauan publik dan rencana-rencana manusia.

Hasilnya, kondisi ummat mengalami degradasi nilai kerukunannya, manusia kehilangan sifat kasih sayangnya. Masyarakat cenderung kepada praktek keseharian yang individualis dan materialistis. Itulah ciri khas ummat yang sedang mengalami kerusakan dalam urusan agama. Di mana agama sudah tidak lagi dijadikan cermin, acuan dan standar utama untuk berkaca serta intropeksi tapi telah berubah menjadi atribut kebanggaan dan ritual formal semata.

Diakui atau tidak, kondisi semacam itu telah menimpa umat era kini. Kesadaran untuk mengakui kekurangan diri dan kerusakan yang melanda umat, akan mempermudah  kita dan para pembaharu dalam menjalankan tugasnya membangun dan memperbaharui umat dalam urusan agama. Karena bagaimana mungkin kesadaran untuk dibangun atau membangun diri dari kerusakan itu akan tumbuh pada diri bila tidak tahu dan tidak mau menyadari bahwa diri dalam kerusakan dan kekurangan.

Sedihnya, masih banyak bahkan mayoritas umat era kini, mengelak kalau ada peringatan akan kondisi mereka yang mengalami kerusakan.  Padahal apa kira-kira jawabannya jika kita coba untuk bertanya pada diri kita masing-masing : “ Berapakah jumlah perintah dan larangan Allah dalam kitab-kitabNYA, kemudian berapa persenkah yang secara konsisten kita amalkan jika itu perintah dan kita tinggalkan jika itu larangan?”

Dulur, Allah menciptakan bumi seisinya ini karena sedang punya “hajatan”. Sebuah hajatan besar yang sudah barangtentu ada pranata prosesi yang ditentukan. Pranata itu adalah agama. Dan, kita hadir di muka bumi ini bukan atas kuasa dan rencana kita sendiri. Kita ini adalah para tamu undangan-Nya Allah. Selayaknya ikuti saja agenda hidup (agama) yang sudah tertuang dalam “surat undangan-Nya” yakni kitab suci-Nya. Apa yang terjadi bila para undangan itu tidak mengikuti prosesi dan membuat agenda sendiri-sendiri? Rusak! Akankah sampean menjadi bagian dari kerusakan tersebut? Semoga tidak! Bismillah.

                \

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *