Oleh : Glory Islamic

Hampir keseluruhan lakon-lakon dalam dunia pewayangan adalah replika kehidupan nyata dan juga kehidupan sesudah mati (kasat mata). Dunia pewayangan mempunyai dimensi ilustrasi kehidupan sebelum dunia, saat dunia dan setelah dunia. Yang dalam ajaran Islam dikenal dengan alam Arwah (alam ruh), alam Arham (dalam kandungan ibu), alam Ad Dun-ya (alam dunia), alam Barzah (alam kubur), alam akhirat (akhir dari segala kehidupan). Ketika geber (background) sebuah pertunjukan wayang digelar maka segera muncul pula pelaku-pelaku dalam lakon tersebut. Semakin malam  lakon dimainkan semakin ramai, semakin banyak ragam peristiwa sebagai prototip kehidupan yang ditampilkan.

Menjelang pagi lakon mencapai titik klimaks dan semua wayang dimasukkan dalam kotak. Demikian pula lakon manusia ini ketika digelar oleh sang Dalang, diawali dari lakon syurgawi, dimana sang Adam adalah sebagai pemeran utama. Dilanjutkan dengan alam katon (alam dunia) yang penuh dengan revolusi peristiwa, peradaban dan pemikiran. Lakon demi lakon muncul memainkan peran, peristiwa demi peristiwa baik yang bercerita tentang kepedihan, ketamakan, kelaliman, keagungan budi pekerti, sampai pertumpahan darah tampil silih berganti seiring dengan semakin malam-nya waktu dunia.

Zaman keemasan berganti dengan zaman kerusakan, kemudian datang reformis untuk mengadakan pembaharuan dan mendapatkan tantangan dari kerusakan itu, sehingga akhirnya kembali menemui zaman keemasan, semuanya terus bergulir meramaikan panggung kehidupan ini. Semakin malam semakin tua usia pertunjukan maka semakin ramai pula lakon yang dimainkan. Satu persatu pelakunya masuk kotak wayang dan mencapai titik klimaks saat pagi menjelang (momentum akhir sebuah kehidupan). Seluruh pelaku dalam kotak wayang dalam pertunjukan sudah masuk dalam kotak wayang.

Dan sesuai dengan apa yang secara emplisit tersirat dalam SEMAR MBABAR JATI DIRI, Semar akan muncul diakhir zaman untuk mengadakan penetrasi sosial, kultural dalam konteks global . Dalam tradisi Ratu Adil Semar juga mempunyai peran utama.Dan sebagai Ratu Adil Semar selalu muncul disetiap zaman yang kondisinya memerlukan keadilan. Semar akan selalu melakukan reinkarnasi dalam jiwa-jiwa para pembaharu, jiwa-jiwa para penegak keadilan dan jiwa-jiwa para penggembala ummat dari zaman ke zaman, terutama zaman fatroh (masa transisi) dalam kerangka proses perjalanan wahyu. Meskipun demikian, peran dan kehidupan Semar yang paling dominan adalah ketika zaman mendekati titik kulminasianya.

Dalam pada itu Semar melakukan perombakan total disegala aspek. Berawal dari ketidakpuasan Semar dalam melihat minimnya realisasi ilmu yang dimiliki ummat untuk kebaikan, Semar “minta bagus” (Semar gugat), menggugat tradisi salah yang telah berurat dalam kehidupan ummat. Gugatan itu diwujudkan dalam Semar bergerak untuk membangun suatu tatanan ummat yang sama sekali berbeda dengan tatanan yang telah ada dan tengah berlangsung, dalam paket lakon “Semar MBangun Kahyangan”.

Yakni suatu tatanan yang penuh dengan amal kebajikan, penuh keikhlasan, tidak ada kemulfase prilaku dan terbingkasnya segala topeng-topeng kemunafikan yang selama ini menutupi hakikat kebenaran. Dimulai dengan aktifitas ”mBabar Jati Diri”, Semar melakukan pengewejantahan falsafah kemulyaan manusia, makna dan tujuan hidup manusia sekaligus bagaimana manusia harus bersikap terhadap sesamanya dalam tataran horizontal dan terhadap Tuhannya dalam tataran vertikal.    

Begitu tuntas, terang (bayyinah) Semar dalam menguraikan jati diri manusia hingga Semar mendapat julukan “Danyange Tanah Jawa”. Jawa di sini jangan hanya dilihat dari kaca mata geografis tapi hendaknya juga dilihat dari kaca mata filosofis yakni nJawani. Dalam filosofis Jawa ada sebutan Bocah cilik Iku Wis Jowo, Wong Durung Jowo, Dadi Wong Iku Sing nJawani (anak kecil itu sudah dewasa, orang belum dewasa, menjadi orang itu yang luas). Disini Jawa di artiakan sebagai pola pikir, wawasan dan kondisi kedewasaan seseorang. Jadi Semarlah yan paling mengerti (mumpuni) dalam kriteria bagaimana seseorang disebut dewasa, mulya dan berpandangan luas.

Kalau kita meyakini bahwa, era kini adalah era terakhir dari proses kehidupan dunia, maka kita harus yakin pula bahwa Semarpun akan muncul untuk memainkan perannya di zaman ini. Kemunculan Semar ini adalah suatu kondisi yang “harus ada” dalam kerangka causality. Dalam arti dengan kondisi zaman yang sedemikian kompleksitas permasalahan, sedemikian banyaknya pertumpahan darah, maka kehadiran Semar mutlak dibutuhkan sebagai penata segala keruwetan. Semar hadir bukan atas permintaan ummat, tapi dia hadir sebagai salah satu agenda mata rantai kemunculan Semar-Semar sebelumnya. Kemunculannya tidak bisa diminta dan tidak bisa ditolak. Tidak satu kekuatanpun yang dapat menolak dan membendung kehadirannya.

Semar muncul dari kawula alit, bukan dari kalangan bangsawan, Ksatria, atau Brahmana. Semar itu kere ndonyo. Artinya secara materi dia tidak punya apa-apa. Namun orang memandang kaya, karena jiwanya yang tak serakah. Bukan sembarang orang yang dapat mengenali Semar, karena dia tidak membawa embel-embel kekuasaan, dia bebas dari itu. Dia adalah satrio paningit. Semar tak lebih dari seorang penggembala ummat yang berbicara tentang kehidupan praktis, tatanan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan rivalnya (syetan) atas suruhan Tuannya. Dalam menjalankan aktifitasnya  Semar jauh dari publikasi dan ketenaran. Dalam jiwa Semar tertanam “sepi ing pamrih, rame ing gawe”. Sedikit  berucap, penuh dalam berkarya dan bekerja tanpa pamrih. Begitu tulus perjuangan yang dijalani. Siapakah dia? Tugas kita bersama mengenali, menemukan dan mengikuti jejaknya. Bismillah.  

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *