Oleh : Glory Islamic

Seorang santriwati terlihat gundah di dalam kelas. Pikirannya sulit konsentrasi, membayangkan apa yang dilihat di rumah sang ustadz beberapa hari sebelumnya. Foto di dinding rumah sang ustadz itu sudah beberapa hari ini menggelitik rasa ingin tahunya. Suasana kelas sedang hening saat sang ustadz menerangkan tentang pentingnya mengikuti syariat Allah. Begitu piawai sang ustadz menyitir ayat-ayat, maklum dia doktor syariah lulusan Punjab, Pakistan. Universitas bergengsi untuk jurusan syariah Islam.

Afwan ustadz, bagaimana pandangan ustadz tentang orang yang mengerti hukum agama tapi tidak melaksanakannya?”, tanya santriwati melepaskan kegundahannya. “Allah melaknatnya”, tegas sang ustadz. Dengan ragu si santri bertanya lagi, “Apa hikmah di balik pernikahan ustadz yang memakai pakaian dan prosesi adat. Bahkan foto pengantin tanpa jilbab dan hanya memakai kemben dipajang secara terbuka. Bukankah itu melanggar syariat, ustadz?”. Sebuah pertanyaan yang kelewat berani untuk ukuran santri.

Limaadza tas’aliina an syai’in amru nafsi, wa anti ghoiru mu’adabbah ya ukhti-kenapa kamu bertanya sesuatu yang jadi urusan pribadi saya, seperti itu tidak punya sopan santun!?”, sergah ustadz dalam bahasa Arab. Hari-hari berikutnya, kesalahan sekecil apapun akan berbuah pengurangan nilai bagi si santri. Dalam hati si santri bertanya, di pondok modern paling terkenal di negeri ini, kenapa untuk bertanya saja dianggap dosa besar. 

Mendengar cerita nyata itu, saya jadi ikut-ikutan gundah. Meskipun apa yang diceritakan langsung si santri kepada saya, adalah gambaran yang sudah sering kita saksikan bersama. Tetap saja fenomena itu membangkitkan kegelisahan saya selama ini. Kegemaran kita menyembunyikan kesalahan dan kekurangan di balik status sosial dan dalil-dalil. Mungkin si ustadz berpikir dia lebih tahu bagaimana menafsirkan dan menjalani agama. Baginya, keilmuan dan gelar S3 yang dimiliki tidak pantas dipertanyakan oleh seorang remaja yang bahkan SMU saja belum lulus.

Waktu SD/MI selama enam tahun seorang siswa belajar, puluhan ajaran kebaikan yang di terima tertinggal di tumpukan buku. Ijasah menjadi ukuran, pengamalan ilmu menjadi nomor sekian. Tiga tahun berikutnya di bangku SMP/Mts si siswa mempelajari belasan mata pelajaran agama. Sama saja, nilai UAN adalah patokan kepandaian, sisi praktik ajaran hanyalah hiasan di awan. Di jenjang SMU/Aliyah, ajaran kebajikan tingkat lanjut dijejalkan selama tiga tahun. Namun, lagi-lagi ilmu yang diterima belum sempat diamalkan karena keberhasilan lulus dan menembus UMPTN adalah tujuan utama pendidikan.

Seorang yang lulus SMU/Aliyah berarti telah menyelesaikan 12 tahun masa pendidikan. Apalagi jika melanjutkan ke jenjang S1, S2, S3. Sampean bisa bayangkan, berapa puluh mata pelajaran yang sudah dimiliki, berapa ratus butir ajaran kabaikan yang sudah diterima dan menuntut untuk diamalkan. Jika satu buah ilmu yang diamalkan akan menjadikan orang lebih baik dari sebelumnya. Maka, bila seluruh ilmu yang diterima sejak MI sampai Aliyah itu  diamalkan, bisa kita bayangkan betapa berkilau akhlak dan kebaikan seseorang.

Siswa, pengajar dan orang tua seolah-olah bersepakat untuk menghambakan diri pada pencapaian ilmu teori dan berpuas hati pada aspek kognitif; nilai UAN bagus, rangking tinggi dan prediket cumlaude. Sedangkan aspek psikomotorik terlebih afektif (praktik akhlak dan prilaku) berhenti di tingkat wacana. Ilmu telah menjadi semacam berhala yang disembah dan diagung-agungkan. Tak penting lagi, apakah ilmu yang dimiliki memberi manfaat atau mudharat, diamalkan atau dibiarkan, berdampak positif pada perubahan akhlak atau malah mendorong orang untuk jadi sok dan berlagak.

Ibarat orang yang hari ini beli kue di pasar, setiba di rumah ditaruh di almari saja tidak dimakan. Keesokan harinya beli lagi sekeranjang kue, diletakkan di atas tumpukan kue kemarin. Begitu seterusnya, almari penuh, tak satupun kue itu disentuh. Makin lama kuepun berjamur dan beracun. Di bangku MI mendapat sekeranjang ilmu, diletakkan dalam almari ingatan tanpa dinikmati dalam amalan. Membeli lagi kue ilmu di bangku Tsanawiyah, ditaruh di atas tumpukan ilmu sebelumnya, juga tidak diamalkan. Terus begitu sampai mengantongi gelar S3. Bukannya bermanfaat, ilmu justru menjadi racun hati yang menimbulkan penyakit sombong, kebal kritik dan tidak tahu kekurangan dan dosa pribadi.

Di gerbang kampus saya dulu, terukir beton qs. 58:11 yang bermakna Allah mengangkat derajat orang yang berilmu beberapa derajat. Keliru jika ayat ini diartikan bahwa cukup dengan berilmu saja seseorang sudah terangkat derajatnya. Posisi mulia di sisi Allah hanya diberikan pada orang yang berilmu dan mengamalkannya. Sebaliknya murka Allah bagi orang yang punya ilmu tapi hanya pandai bicara, menyeru kebaikan tapi dirinya sendiri luput mengamalkan. Lihat qs. 61:2-3 dan 2:44.

Al ‘ilmu nuurun, ilmu itu bercahaya. Semakin banyak ilmu yang dikumpulkan, harusnya kian terang ruang kalbunya. Kesalahan sekecil apapun, mudah baginya menemukenali dan memperbaikinya. Masukan sebesar apapun, dengan bijak mampu menerima lantaran luasnya wadah ilmu yang dimilikinya. Ilmu yang diamalkan secara konsisten, akan memberi manfaat untuk dirinya dan orang di sekitarnya.. Karena khoirunnaas, anfa’uhum linnaas-sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia lain. 

Aspek pengamalan ilmu-lah yang mendongkrak derajatnya, bukan aspek kepintaran mengajarkan tapi kosong dari pengamalan. Karena yang demikian justru dimurkai Allah. Semakin banyak ilmu yang dikuasai, semakin sulit menemukan kesalahan diri. Semakin tinggi strata dan gelar yang dikantongi, semakin sulit menerima masukan dan kritik. Tahu berhala tidak memberi manfaat, tetap saja disembah. Tahu bahwa ilmu yang diperoleh jenjang sebelumnya belum diamalkan, dengan bangga memamerkan gelar strata di atasnya.

Perumpamaan orang yang berilmu dan tidak mengamalkannya seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal (qs. 62:5). Buruk benar personifikasi ilmu tanpa amal. Dulurku, untuk apa dalam berdalil piawai tapi terhadap pengamalan abai. Buat apa gelar panjang menjuntai, tapi di mata Allah sedungu keledai. Hati-hatilah terhadap tumpukan ilmu yang dimiliki, karena disana ada sombong yang mengintai. Cari, pelajari dan amalkan ilmumu, jauhi sikap memberhalakan ilmu yang angkuh dan lebai. Bismillah.

Al ilmu bilaa amalin kasyajari bilaa samarin. Manizdada ilma lam yazdad hu’dan, lam yazdad minallah illa bu’dan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *