Oleh : Glory Islamic

“Yang sabar, orang sabar disayang Tuhan”, “bersabarlah, sesungguhnya Tuhan bersama dengan orang-orang yang sabar”. Nasehat itu mungkin sering kita dengar dari teman atau kerabat kala kita dirundung sedih atau dilanda amarah. Bahwa Kesabaran akan mendatangkan kasih sayang dan kebersamaan Tuhan. Itu memang benar. Selain menyukai orang yang penyabar, Allah sendiri Maha Penyabar lho. Allah Yang Maha Pencipta, Maha Berkehendak dan Maha  Kuasa itu jauh lebih sabar dibanding hambaNya. Ndak percaya? Mari kita buktikan.

Sebaga Tuhan Pemilik Kerajaan Langit dan Bumi, Tuhan Yang Maha Kaya, kira-kira apa yang dibutuhkan dari makhluk ciptaanNya? Tidak ada. Allah nggak  butuh apapun dari siapapun. Namun tengoklah, ketika Dia bersikap terhadap hambaNya yang nggak jelas prilakunya. Makhluk yang bernama manusia ini sulit sekali diperintah hidup sesuai aturan Tuhan, terutama dalam hal berkorban untuk agama. Untuk menyadarkan hambaNya, Allah begitu telaten dan sabar membujuk manusia.

Allah meminta. Pada awalnya Allah langsung terang-terangan meminta manusia untuk menginfakkan sebagian rizki yang Allah berikan kepada mereka. Allah juga memberi iming-iming imbalan bagi manusia yang mau memberikan hartanya untuk kepentingan agama dan bangsa yang membutuhkan. Lebih-lebih kalau bersedia memberikan barang yang paling dicintai.

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian harta yang telah kami karuniakan kepadamu di jalan Allah, sebelum datang suatu hari, di mana tidak ada jual beli, tidak ada persahabatan dan tidak ada pembelaan. Orang-orang yang kafir itulah orang-orang yang dholim” qs. 2:254

Perintah itu sedemikian jelas meminta manusia untuk bersedekah. Namun manusia ogah menyahutinya. Kuat sekali tangan ini menggenggam kekayaannya, jangan sampai terlepas. Rapat sekali saku ini terkatup, jangan sampai harta ini berkurang. Berkali-kali permintaan Allah itu disampaikan lewat lisan para penceramah, tulisan kitab hikmah dan teladan para uswah, tapi sedikit sekali yang tergerak menindaklanjuti dalam perbuatan. Manusia benar-benar tutup telinga.

Allah berhutang. Menyikapi kebengalan manusia itu, Allah tidak putus asa. Demi kesadaran hambaNya, Allah berkenan menurunkan posisi tawar dengan cara menawarkan skema hutang piutang. Ya, Allah menyampaikan “pengajuan hutang” pada manusia. “Hai manusia berikan hartamu untuk kepentingan agamaKu!”, pinta Allah. Jawab manusia: “Ogah ah, lha wong ini harta hasil jerih payahku sendiri kok”. Mendapat jawaban itu Allah menawarkan: “Oke, kalau nggak boleh Aku minta, gimana kalau aku hutang?”

“Jika kamu dapat memberi pinjaman yang baik kepada Allah, tentu Dia akan membalas berlipat ganda, serta mengampunimu pula. Dan Allah sangat membalas jasa dan Maha Penyantun”. Qs.64:17

Apa jawab manusia? “Tetep aja emoh, habis hutang kalau nggak ada jaminan atau agunan apa-apa ya siapa mau percaya”.  Allah yang berhutang ghoib, janji pembayaran juga entah kapan, kompensasi akhirat juga ghoib, siapa bisa yakin? Menyikapi itu, lagi-lagi Allah bersabar dan menawarkan skema baru.

Allah membeli. Diminta langsung, tidak diberikan; dihutang tidak percaya, terakhir Allah menawar utuk membeli jiwa, raga dan harta manusia dengan harga tinggi.

“Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu dan demikian itulah kemenangan yang agung”, qs. 9:111. Lihat juga 61:10-12.

Terhadap skema ini, manusia terpecah menjadi dua golongan. Sebagian besar menolak secara halus namun ada sedikit yang menerima dengan senang hati. Terkait hal ini, guru saya punya sebuah tamsil. Ada tiga orang yang terlibat, Karim, Abdul dan Sudrun. Suatu hari Sudrun mau jual sapi ke pasar dengan harga 5 juta. Di tengah jalan bertemu dengan Karim yang berniat membeli sapinya dengan harga 10 juta, tapi dibayarkan lunas setahun lagi setelah panen. Meski ditawar lebih tinggi dari harga pasar, tapi Sudrun menolak. Sudrun tidak mengenal dalam pribadi Karim. Dia memang mendengar bahwa Karim itu terpercaya, tidak pernah ingkar janji, tapi hanya mendengar cerita orang dan tidak pernah mengenal dekat. Wajar timbul keraguan. Berbagai alasan penolakanpun dikemukakan.

Di lain hari Abdul juga hendak ke pasar menjual sapi, di tengah jalan juga bertemu Karim yang juga berniat membeli sapinya. Karim dan Abdul ini sudah mengenal luar dalam, dekat sekali. Sehingga tawaran Karim itu langsung disetujuinya tanpa ragu. “Tapi aku bayar nanti setelah panen lho, setahun lagi?”, Karim meyakinkan. “Seratus tahun lagi juga saya percaya, nggak apa-apa”. Jawab Karim mantap.

Allah memaklumatkan: “AKU membeli jiwa, raga dan harta orang beriman dengan harga surga. Tapi pembayarannya tidak bisa cash di dunia. Akan AKU lunasi total nanti di akhirat, siapa mau?”. Seperti Sudrun mengenal Karim, orang munafiq dan kafir itu mengenal Allah hanya dari dongeng ustadz atau tulisan kitab, tidak benar-benar kenal dekat. Sehingga meskipun Allah menjanjikan harga yang berlipat-lipat, alih-alih menyahutinya dengan akad, tertarikpun tidak. Ketika kepentingan bangsa dan agama membutuhkan tenaga, waktu dan hartanya, berbagai alasanpun dikemukakan. “Gimana anakku, ini modal usaha, masih banyak tanggungan, nanti saja kalau sudah banyak rizki”.

Di pihak lain, bagi orang yang beriman tawaran Allah itu adalah keberuntungan yang sangat besar. Betapa tidak, raga yang penuh kotoran dan sebentar lagi mati ini dibeli dengan rupa yang suci sempurna nan abadi; harta yang tidak seberapa ini Allah bayar dengan limpahan kekayaan seluas langit bumi; kebebasan semu duniawi ini hendak Allah ganti dengan kebebasan sejati surgawi. Maka, diserahkanlah jiwa, raga dan hartanya untuk kepentingan bangsa dan agama, kapanpun dan berapapun yang dimiliki. Apalagi orang mu’min haqqul yaqin mengenal dekat Allah, bahwa Dia tidak akan menyalahi janji. Kini dulurku, saat Allah memelas, Sudrun atau Abdulkah kita? Bismillah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *